"NHAILA Meylani, asal kabupaten Belu, IPK 4,00, predikat Cumlaude" suara ini membuatku tersedak secara tiba-tiba menggema dalam telinga dan menembus jantungku, aliran darah serasa akan terhenti.
"Oh Tuhan, aku tak percaya. Aku yakin ini hanyalah khayalanku saja. Jangan biarkan mimpi ini terus mengahantui hati dan pikiranku karena aku tahu dan yakin mimpi itu tak akan pernah menjadi nyata" Batinku dalam hati sambil memejamkan mata.
Perlahan-lahan ku buka kembali kelopak mataku yang terkatup rapat, namun betapa kagetnya diriku ketika melihat beribu-ribu pasang mata memandang ke arahku dengan pandangan yang
penuh kekaguman.
"Mey, ayo maju" bisik fati sambil menyiku sudut tanganku. "Iya" jawabku sambil melangkah ke panggung bagaikan robot tak berremote, berbagai pikiran berkecamuk dalam hatiku antara senang, sedih dan ragu. Aku masih tak percaya akan hal yang kualami sekarang. Namun ini nyata, aku tidak sedang bermimpi.
Aku mulai menyadari bahwa saat ini, di Gedung Olahraga Rai Belu telah terjadi suatu peristiwa bersejarah, dimana 200 orang Ahli Madya Keperawatan lulusan Akademi Keperawatan Nusa Dua dilantik secara resmi oleh Kepala Dinas Kesehatan provinsi NTT dan aku merupakan salah satu dan satu-satunya yang memperoleh predikat cumlaude dari 200 orang tersebut. Di atas panggung, aku tersenyum bahagia sambil menyalami satu per satu dosen yang duduk di atas mimbar, mereka adalah pahlawanku,pahlawan tanpa tanda jasa.
Turun dari panggung, mataku langsung menangkap sosok seorang malaikat yang sedang menatap ke arahku sambil memberikan senyuman yang paling indah di dunia dan di balik kesahajaan yang sempurna dalam tatapannya kutemui bulir-bulir semangat yang rapuh, aku tak mampu menahan tangis bahagia dan spontan kelopak mataku tergenangi oleh air mata sukacita dan ku tahu bahwa malaikat itu pun sedang mengalami perasaan yang sama sepertiku.
*
Angankupun terbang ke masa lampau sebelum berdiri tegak di GOR ini, aku adalah seorang gadis rapuh bermodalkan semangat yang tinggi. Terlahir dari keluarga yang sangat sederhana, ayahku seorang jasa ojek dan ibuku hanyalah seorang IRT. Aku dan kelima orang saudaraku merasa bahwa kami adalah anak paling beruntung sedunia karena dikaruniai 2 orang tua yang luar biasa berhati malaikat yang selalu setia menuntun dan mengarahkan hidup kami di tengah kerasnya arus hidup. Di dalam kesederhanaan kami adalah keluaraga harmonis yang bahagia karena oleh kedua malaikat, kami diajarkan untuk senantiasa mensyukuri berbagai peristiwa hidup.
"Mey, tekunlah belajar nak karena cita-citamu ada dalam genggaman tanganmu sendiri dan hanya kamu sendirilah yang bisa meraihnya" nasihat ibuku siang itu ketika selesai mengikuti pengumuman kelulusan tingkat SMP di sekolahku.
"Iya bu, aku janji akan belajar dengan sungguh-sungguh untuk mewujudkan semua mimpiku" jawabku dengan mantap sambil berlalu ke meja altar untuk berdoa mensyukuri karunia Tuhan yang kunikmati saat ini. Aku bersyukur karena bisa lulus dengan hasil yang memuaskan yaitu peringkat 1 dari 300 orang siswa.
Hal yang sama pernah kualami ketika pengumuman kelulusan semasa SD, aku menyadari bahwa Tuhan begitu baik dan luar biasa mencintaiku. Sehingga semua karunia ini bisa kuperoleh, tidak sedikit yang kukorbankan untuk mewujudkannya.
Sedari SD hingga SMP, Sambil bersekolah, aku membantu menambah penghasilan keluarga dengan berjualan kue di sekolah ketika jam istirahat. Kutepis semua rasa malu melakukan profesi ganda ini, walau terkadang teman-temanku sering memanggil dan menghinaku dengan sebutan yang paling kasar yaitu `Gadis penjual kue,tempatmu seharusnya di pasar bukan di sini'. Walau menyakitkan tapi aku senantiasa berbesar hati menerima semuanya karena kutahu bahwa apa yang mereka katakan adalah benar adanya, dan kata-kata ini menjadi motivator yang selalu membakar semangatku untuk mewujudkan semua mimpiku dengan terus belajar dengan tekun.
"Ayah bangun, Ayah" lamuanku buyar mendengar jeritan tangis ibu. Aku beranjak menuju kamar ibu dan bagai disambar petir ketika kutemui Ayahku tergeletak kaku di atas ranjang, duniaku serasa berhenti berputar . Aku sangat marah akan apa yang terjadi dan refleks kupeluk ayah erat-erat sambil berteriak sekencangnya memanggil ayah. Kuketuk dengan sekerasnya kepalaku di dinding rumah, aku tidak percaya akan takdir ini namun aku tersadar bahwa ini adalah nyata, aku telah kehilangan seorang malaikat.
Beberapa hari lalu ketika bekerja, ayahku mengalami kecelakaan sehingga harus dirawat insentif namun karena keterbatasan biaya, kami memutuskan untuk merawatnya di rumah. Ternyata keputusan kami salah karena kami tak mampu merawatnya sehingga ia dipanggil pulang oleh Tuhan. Aku mulai menyalahkan dan meragukan kebenaran Tuhan." Apakah Tuhan itu ada? Andaikan Tuhan itu ada mengapa ia tak sayang pada umatnya? Mengapa Ia membiarkan Ayah celaka?" Pertanyaan ini terus bergumul dalam hatiku dan tak kutemui jawaban pastinya hingga aku tersadar bahwa aku salah, aku mulai menyadari dan menerima bahwa Tuhan lebih menyayangi ayahku dan aku hanya bisa berdoa memohon keselamatan kekal bagi ayah dan ketabahan bagi keluargaku karena aku percaya bahwa sehabis hujan pasti ada pelangi dan di balik semua duka ini ada kado indah yang telah Tuhan sediakan bagi keluarga kami.
Selewat masa duka itu, aku dan keluargaku mulai kembali membangun puing-puing semangat baru, kini aku duduk di bangku SMA di salah satu SMA Negeri favorit di kotaku, walau awalnya aku pesimis untuk melanjutkan pendidikan namun dorongan dan motivasi ibu terus membakar semangatku untuk bersekolah. Ibuku mendapatkan bantuan modal untuk membuka usaha kios kecil di rumah kami dan sambil mengelola kios, ibupun menerima titipan cucian dari tetangga.
Semua ini dilakukan ibu untuk menafkahi dan menyekolahkanku dan kelima adiku. Tidak seperti gadis lainnya, sepulang sekolah aku selalu membantu ibu bekerja dan di sela-sela waktu belajar, kutuang hobi menulisku dalam bentuk puisi dan cerpen dan dikirimkan pada media masa, walau sering ditolak tapi aku terus berusaha menyempurnakan karya-karya hingga akhirnya diterima dan aku dipercaya untuk menjadi penulis tetap dalam sebuah majalah. Ini merupakan berkat yang sempurna karena dari hasil menulis sedikit membantu ibu untuk memenuhi kebutuhan sekolahku
"Nak selamat ya, bapak sarankan kamu melanjutkan pendidikan ke pulau jawa agar memperoleh pendidikan yang berkualitas" kata bapak kepala sekolah ketika memberikan beasiswa untukku dan kedua orang teman ketika pengumuman kelulusan SMA.
"Amin, terimakasih banyak bapak" jawabku sambil menyalami dan mencium tangan beliau. Aku tersenyum tapi menangis dalam hati karena menyadari bahwa apa yang beliau katakan adalah hiburan semata karena tak mungkin aku bisa melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi apalagi melanjutkan pendidikan di luar pulau Timor. Namun keoptimisan ibu untuk menyekolahkanku mampu melawan rasa pesimis yang ada dalam diriku, ibu ingin aku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan aku pun akhirnya menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di kotaku, ibu bekerja keras untuk membiayai kuliahku, ia ingin agar aku meraih bintang yang tergantung tinggi di atas langit.
Ibu sempat menawarkanku untuk kuliah di pulau jawa tapi aku menolaknya dengan tegas walau akupun berkeinginan demikian, namun menyadari situasi dan kondisi keuangan yang tidak mendukung dan menurutku berkualitas atau tidaknya suatu perguruan tinggi, tergantung kita yang bersekolah dalamnya jadi kukuatkan tekad dan mulai menjalani profesi baruku sebagai seorang mahasiswa dengan penuh semangat. Aku tetap menjadi penulis sambilan di majalah untuk menunjang pendidikan dan syukurnya di kampusku terdapat program beasiswa bagi mahasiswa berprestasi sehingga 6 semester berturut-turut, pendidikanku ditunjang oleh beasiswa ini.
Banyak waktu kuhabiskan untuk belajar sampai aku menyadari bahwa ada yang kurang dalam pribadiku yaitu hingga saat ini aku masih belum mampu mencintai orang lain selain ibu dan keluaragaku seperti yang dilakukan oleh muda-mudi pada umumnya, walau terkadang banyak hati yang berusaha mendekatiku.
Sebenarnya aku berhasrat untuk mencintai dan dicintai tapi takut cinta menjatuhkan cita-citaku. Hingga suatu ketika di malam natal di gereja di kotaku aku berkenalan dengan seorang pria mapan bersuara indah yang mengagumi kesederhanaanku. Sekian lama pedekate akhirnya aku dan Randy, pria yang jarak usia terpaut 3 tahun denganku ini, berkomitmen untuk menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dengan berpatokan pada prinsip yang sudah kutanamkan sejak dulu yaitu ` boleh jatuh cinta tapi cita-citaku tidak boleh jatuh karena cinta'.
Aku mencintai dia seperti mencintai keluargaku sendiri, hubungan kami direstui oleh keluargaku maupun keluarganya walau pada awalnya ibuku tidak menyetujui karena perbedaan status social antara kami. Ia bagaikan langit dan aku bagaikan bumi namun mahligai cinta kami mampu menyatukan langit dan bumi itu hingga suatu ketika aku menyadari bahwa cinta itu telah mengoyakkan jiwaku yang rapuh, aku jatuh dalam godaan cintanya dan kami pun tersesat tak terkendali, dalam rahimku kini telah tumbuh benih kehidupan baru namun Randy yang 3 tahun menjalin hubungan denganku ini tiba-tiba hilang bagai ditelan bumi. Belakangan kuketahui bahwa ia telah beristri dan aku hanyalah selirnya.
**
"Hey Mey, ayo maju lagi" Bisik Fati sambil menyiku dengan keras pada sudut pinggangku. Lamuanku pun buyar dan aku melangkah maju dengan pasti ke depan panggung untuk menerima penghargaan berupa beasiswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S1 di pulau Jawa. Aku tersenyum bahagia ketika menerima penghargaan itu dan tak terasa air mataku menitik ketika menyalami Kepala Dinas. Turun dari panggung aku berlari menyusuri ribuan pasang mata yang terharu memandangku dan di hadapan sesosok malaikat aku terhenti dan memeluknya erat-erat, malaikat itu adalah ibuku tersayang. "terimakasih banyak Tuhan untuk malaikat yang kau kirimkan bagiku ini." Batinku dalam hati.
Namun seketika aliran darahku serasa berhenti bekerja karena maliakat itu tak membalas pelukanku, ia menjadi beku bagaikan patung. "Oh Tuhan, ampuni aku karena telah dengan durhaka mengoyakan bulir-bulir semangat malaikatku, aku bahagia saat ini tapi dibalik kebahagiaan itu ada duka yang mendalam. Ibu sang malikatku pergi meninggalkanku bertepatan dengan hari bahagiaku karena leukemia yang dideritanya juga perbuatanku yang telah memberi luka yang amat dalam di hatinya. Apakah aku harus tertawa ataukah harus menangis?"
Aku tak bisa berhenti tertawa tapi juga tak bisa berhenti menangis hingga semua orang memanggilku sakit jiwa, di sepanjang perjalanan anak-anak memanggil dan menggangguku dengan sebutan orang gila, aku tertawa dan juga menangis namun aku marah hingga kulempari tiap orang yang menatapku, aku kini menjadi GILA karena kedurhakaanku sendiri.