klasik

Sabtu, 27 Juni 2015

Biografi MGR. GABRIEL MANEK, SVD

          MGR. GABRIEL MANEK, SVD


Almarhum Mgr. Gabriel Manek, SVD pernah bertugas di Timor dari Tahun 1946 - 1951. Dalam kurun waktu itu beliau pernah bertugas sebagai pastor di Kefemenanu, menjadi anggota Pemerintahan RIS dengan pusat di Makassar ( Ujung Pandang ) atau Denpasar.Ketika Seminari Lalian dibuka pada tahun 1950, beliau sangat berperan dalam persiapan pembukaan seminari Lalian bersama dengan P. Heinrich Janssen, SVD. Beliau kemudian ditugaskan sebagai Direktur sedangkan P. Heinrich Janssen sebagai Prefek seminari. Dari situ  beliau kemudian ditentukan untuk menjadi uskup Larantuka, dan ditahbiskan menjadi uskup pada tanggal 25 April 1951.Gabriel Manek lahir pada tanggal 18 Agustus 1913 di Ailomea – Lahurus – Belu - Timor. Ia anak laki-laki bungsu dari pasangan Yohanes Leki dan Sioe Keo Moy. Dipermandikan satu hari setelah kelahirannya yaitu pada tanggal 19 Agustus 1913 dengan nama : Gabriel Yohanes Wilhelmus Manek. oleh Pastur Arnoldus Verstraelen. SVD.
Ketika itu ayahnya berada di Tiongkok, dan tidak lama kemudian ibunya yang berdarah campuran Tionghoa itu meninggal dunia.
Ia Kemudian diadopsi sebagai anak angkat oleh Maria Belak, Isteri raja Don Kaitanus da costa, Raja kerajaan Tasifero,Belu Utara. pada tahun 1920, Ia masuk SD di Halilulik standard school di Ndona, Kemudian masuk Seminari di sikka pada 1927. Pada 16 oktober 1932 ia masuk Novisiat SVD dan sejak 17 januari 1937 kuliah di seminari tinggi Ledalero ,dan lulus angkatan pertama.kemudian,dia ditahbiskan sebagai Imam oleh Mgr. Hendrikus Leven. pada Maret tepatnya pada saat dia berumur 38 tahun, Paus Pius XII mengangkatnya menjadi Uskup pada 25 April 1951.
Mgr Gabriel merupakan pastor pribumi pertama di Nusa Tenggara Timur bersama (Alm) P Karolus Kale Bale, SVD. Ia juga pernah menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur, dan juga memangku jabatan uskup pertama di Larantuka, Flores Timur dan Uskup Agung Ende.
Mgr. Gabriel adalah pendiri Tarekat Suster-suster PRR yang kini biara pusatnya berada di Lebao-Larantuka. Ia meninggalkan Ende, Flores pada tahun 1968 ke Amerika Serikat dan langsung ke San Fransisco untuk menjalani perawatan.
Setelah kesehatannya mulai membaik, ia melayani "Saint Francis Xavier Catholic Japanese Mission" dan juga komunitas kaum Negro di Gereja St. Patrick, Ouckland.
Mgr. Gabriel meninggal dunia pada tanggal 30 November 1989 dan dimakamkan di Lakewood, Colorado, Amerika Serikat.
Pada bulan April 2007, jenazahnya digali kembali dan dipulangkan ke Indonesia, dan hingga kini disemayamkan dalam Kapela Induk di Biara Pusat tarekat PRR di Larantuka. Yang mencengankan adalah, ketika digali kembali, jenazahnya dalam keadaan utuh, sama seperti ketika dimakamkan.
 

Foto Mgr. Gabriel Manek, SVD, 
ketika pensiun di Amerika Serikta.



 Jenasah Mgr. Gabriel Manek, SVD
tiba di Indonesia Kupang.







Beata Teresa dari Kalkuta


Bunda Teresa, Mother Teresa, Ibu kaum miskin, Agnes Gonxha Bojaxhiu

  • Perayaan
    5 September
  • Lahir
    26 Agustus 1910
  • Kota asal
    Skopje – Albania, Kerajaan Ottoman, (Sekarang Republik Macedonia)
  • Wilayah karya
    India
  • Wafat
    5 September 1997 di Calcutta, West Bengal, India - Sebab alamiah
  • Venerasi
    20 December 2002 oleh Santo Paus Yohanes Paulus II
  • Beatifikasi
    19 Oktober 2003 oleh Santo Paus Yohanes Paulus II



    Beata Teresa dari Kalkuta adalah seorang yang penuh cinta kasih, seorang kudus di abab modern ini. Selama lebih dari 45 tahun, ia berkarya dari India,  melayani orang miskin, sakit, yatim piatu dan sekarat, sementara membimbing ekspansi Misionaris Cinta Kasih yang pertama di seluruh India dan selanjutnya di negara lain. Konggregasi Misionaris Cinta Kasih yang didirikannyanya terus berkembang sepanjang hidupnya dan pada saat kematiannya, ia telah menjalankan 610 misi di 123 negara, termasuk penampungan dan rumah bagi penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah.  

    Kehidupan awal

    Agnes Gonxha Bojaxhiu (Gonxha berarti "kuncup mawar" atau "bunga kecil" di Albania) lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 di lahir di Skopje – Albania Kerajaan Ottoman, (Sekarang  menjadi negara Republik Macedonia). Meskipun lahir pada tanggal 26 Agustus, ia menganggap 27 Agustus, hari ia dibaptis menjadi "ulang tahun"nya. Dia adalah anak bungsu dari sebuah keluarga di Shkodër, Albania, lahir dari pasangan Nikollë dan Drana Bojaxhiu. Ayahnya meninggal pada tahun 1919 ketika ia baru berusia delapan tahun. Setelah kematian ayahnya, ibunya membesarkannya sebagai seorang Katolik Roma yang saleh.   
    Sejak kecil Agnes sudah terpesona oleh cerita-cerita dari kehidupan misionaris dan pelayanan mereka di Benggala India. Pada usia 12 tahun, ia sudah merasa yakin akan pilihan hidupnya dan memutuskan untuk menjadi seorang biarawati. Pada usia delapan belas tahun, bulan September 1928, Agnes masuk Biara Suster-suster Loreto di Irlandia. Ia memilih nama Suster Maria Teresa sebagai kenangan akan Santa Theresia Lisieux. Namun karena salah satu biarawati disitu sudah memilih nama itu, maka Agnes memilih menggunakan ejaan Spanyol :  Teresa.  
    Bulan Desember 1928, Sr Teresa berangkat ke India dan tiba di Kalkuta pada tanggal 6 Januari 1929. Setelah mengucapkan Kaul Pertamanya pada bulan Mei 1931, Sr Teresa ditugaskan untuk mengajar di sekolah putri St Maria, Calcutta. Pada tanggal 24 Mei 1937, Sr. Teresa mengucapkan Kaul Kekalnya, dan menjadi “pengantin Yesus” untuk “selama-lamanya”. Sejak saat itu ia dipanggil Ibu Teresa. Ia tetap mengajar di sekolah St Maria dan pada tahun 1944 diangkat sebagai kepala sekolah.
    Meskipun Teresa menikmati mengajar di sekolah, ia semakin terganggu oleh kemiskinan di sekitarnya. Kelaparan di Benggala 1943 membawa penderitaan dan kematian ke kota serta kekerasan sektarian antara umat Hindu dan Muslim pada bulan Agustus 1946 membuat kota itu hidup dalam keputusasaan dan ketakutan.  

    Konggregasi Misionaris Cinta Kasih

    Pada tanggal 10 September 1946, Teresa mengalami "panggilan" saat bepergian dengan kereta api ke biara Loreto di Darjeeling dari Kalkuta untuk retret tahunannya.
    "Saya meninggalkan biara dan membantu orang miskin sewaktu tinggal bersama mereka. Ini adalah sebuah perintah. Kegagalan akan mematahkan iman."
    Pada tanggal 10 September 1946, dalam perjalanan kereta api dari Calcutta ke Darjeeling untuk menjalani retret tahunannya, Ibu Teresa menerima “inspirasi”, “panggilan dalam panggilan”-nya. Pada hari itu, dengan suatu cara yang tidak pernah dapat dijelaskannya, dahaga Yesus akan cinta kasih dan akan jiwa-jiwa memenuhi hatinya. Ibu Teresa  lalu mengadopsi kewarganegaraan India dan menghabiskan beberapa bulan di Patna untuk menerima pelatihan dasar medis di Rumah Sakit Keluarga Kudus.
    Pada tanggal 21 Desember untuk pertama kalinya Ibu Teresa keluar-masuk perkampungan kumuh India. Ia mengunjungi keluarga-keluarga, membasuh borok dan luka beberapa anak, merawat seorang bapak tua yang tergeletak sakit di pinggir jalan dan merawat seorang wanita sekarat yang hampir mati karena kelaparan dan TBC.  Setiap hari Ibu Teresa memulai hari barunya dengan persatuan dengan Yesus dalam Ekaristi, lalu kemudian pergi dengan rosario di tangan, untuk mencari dan melayani Yesus dalam “mereka yang terbuang, yang teracuhkan, yang tak dikasihi”.
    Setelah beberapa bulan, ia ditemani oleh, seorang demi seorang, para pengikutnya yang pertama.   Pada awal tahun 1949, ia bergabung dalam usahanya dengan sekelompok perempuan muda dan meletakkan dasar untuk menciptakan sebuah komunitas religius baru untuk membantu orang-orang yang "termiskin di antara kaum miskin". Teresa menulis dalam buku hariannya bahwa tahun pertamanya penuh dengan kesulitan. Ia tidak memiliki penghasilan dan harus memohon makanan dan persediaan. Teresa mengalami keraguan, kesepian dan godaan untuk kembali dalam kenyamanan kehidupan biara. Ia menulis dalam buku hariannya:
    “Tuhan ingin saya masuk dalam kemelaratan. Hari ini saya mendapat pelajaran yang baik. Kemelaratan para orang miskin pastilah sangat keras. Ketika saya mencari tempat tinggal, saya berjalan dan terus berjalan sampai lengan dan kaki saya sakit. Saya bayangkan bagaimana mereka sakit jiwa dan raga, mencari tempat tinggal, makanan dan kesehatan. Kemudian kenikmatan Loreto datang pada saya. ‘Kamu hanya perlu mengatakan dan semuanya akan menjadi milikmu lagi,’ kata sang penggoda... Sebuah pilihan bebas, Tuhanku, cintaku untukmu, aku ingin tetap bertahan dan melakukan segala keinginan-Mu merupakan kehormatan bagiku. Aku tidak akan membiarkan satu tetes air mata jatuh karenanya.”.
    Teresa mendapatkan izin dari Vatikan pada tanggal 7 Oktober 1950 untuk memulai sebuah  kongregasi, yang kemudian menjadi Konggregasi Misionaris Cinta Kasih yang mempunyai misi untuk merawat orang – orang  "yang lapar, telanjang, tunawisma, orang cacat, orang buta, penderita kusta, semua orang yang merasa tidak diinginkan, tidak dicintai, tidak diperhatikan seluruh masyarakat, orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan dihindari oleh semua orang."
    Kongregasi ini dimulai dengan 13 orang anggota di Kalkuta, kini telah lebih dari 4.000 suster menjalankan panti asuhan, rumah bagi penderita AIDS dan pusat amal di seluruh dunia, dan merawat para pengungsi, pecandu alkohol, orang buta, cacat, tua, orang miskin dan tunawisma, korban banjir, dan wabah kelaparan.
    Pada tahun 1952, Ibu Teresa  membuka Home for the Dying pertama diatas lahan yang disediakan oleh pemerintah kota Kalkuta. Dengan bantuan para pejabat India, ia mengubah sebuah kuil Hindu yang ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah rumah sakit gratis untuk orang miskin. Mereka yang dibawa ke rumah tersebut menerima perhatian medis dan diberikan kesempatan untuk meninggal dalam kemuliaan, menurut ritual keyakinan mereka masing-masing; Muslim membaca Al-Quran, Hindu menerima air dari sungai Gangga, dan Katolik menerima Sakramen minyak suci.  "Sebuah kematian yang indah," katanya, "adalah untuk orang-orang yang hidupnya diperlakukan seperti binatang, mati seperti malaikat - dicintai dan diinginkan."
    Ibu Teresa  segera menyediakan tempat tinggal untuk mereka yang menderita penyakit kusta, dan menyebut tempat ini sebagai Shanti Nagar (Kota Kedamaian). Para Misionaris Cinta Kasih juga mendirikan beberapa klinik kusta yang terjangkau di seluruh Kalkuta, menyediakan obat-obatan, perban dan makanan.  Ibu Teresa  merasa perlu untuk membuat rumah bagi anak-anak yang hilang. Pada tahun 1955, ia membuka Nirmala Shisu Bhavan, sebagai rumah perlindungan bagi para yatim piatu dan remaja tunawisma.
    Pada tahun 1960-an, Konggregasi ini telah membuka penampungan, panti asuhan dan rumah lepra di seluruh India. Ibu Teresa  kemudian memperluas pelayanan konggregasinya di seluruh dunia. Rumah pertama di luar India dibuka di Venezuela pada tahun 1965 dengan lima suster. Selanjutnya di Roma, Tanzania, dan Austria pada tahun 1968, dan selama tahun 1970, konggregasi ini membuka rumah dan yayasan di puluhan negara baik di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Serikat. Pada tahun 2007, Anggota Konggregasi Misionaris Cinta Kasih telah berjumlah kurang lebih 450 bruder dan 5.000 biarawati di seluruh dunia, menjalankan 600 misi, sekolah dan tempat penampungan di 120 negara.

    Melayani Dunia 

    Pada tahun 1982 saat puncak Pengepungan Beirut, Ibu Teresa  menyelamatkan 37 anak yang terjebak di garis depan sebuah rumah sakit dengan menengahi sebuah gencatan senjata sementara antara tentara Israel dan gerilyawan Palestina. Ditemani oleh para pekerja Palang Merah, ia melakukan perjalanan melalui zona perang ke rumah sakit yang hancur untuk mengevakuasi para pasien muda.
    Ketika Eropa Timur mengalami peningkatan keterbukaan di akhir 1980-an, ia memperluas pelayanannya untuk negara-negara komunis yang sebelumnya menolak Misionaris Cinta Kasih. Ia selalu tidak terpengaruh dengan kritik terhadap pendiriannya dalam melawan aborsi dan perceraian serta mengatakan, "Tidak peduli orang-orang mengatakan apa, Anda harus menerimanya dengan tersenyum dan melakukan pekerjaan anda sendiri." Ia mengunjungi Republik Sosialis Soviet Armenia setelah Gempa bumi Spitak 1988 dan bertemu dengan Nikolai Ryzhkov, Ketua Dewan Menteri.
    Ibu Teresa  bepergian untuk membantu dan melayani penderita kelaparan di Ethiopia, korban radiasi di Chernobyl, dan korban gempa di Armenia. Pada tahun 1991, Ibu Teresa  kembali untuk pertama kalinya ke tanah airnya dan membuka Konggregasi Bruder Misionaris Cinta Kasih di Tirana, Albania.
    Pada tahun 1996, ia menjalankan 517 misi di lebih dari 100 negara. Selama bertahun-tahun kemudian, Ibu Teresa  mengembangkan Misionaris Cinta Kasih untuk melayani yang "termiskin dari yang miskin" di 450 pusat di seluruh dunia. Rumah Misionaris Cinta Kasih pertama yang ada di Amerika Serikat didirikan di South Bronx, New York. Pada tahun 1984, Konggregasi  ini telah menjalankan 19 pusat pelayanan di seluruh Amerika Serikat.
     

    Akhir Pelayanan

    Ibu Teresa  menderita serangan jantung ketika di Roma pada tahun 1983, saat mengunjungi Paus Yohanes Paulus II. Setelah serangan kedua pada tahun 1989, ia terpaksa harus memakai alat pacu jantung buatan. Pada tahun 1991, setelah berjuang melawan pneumonia saat ia berada di Meksiko, ia menderita masalah jantung lebih lanjut. Ibu Teresa  menawarkan untuk mengundurkan diri dari posisinya sebagai kepala Misionaris Cinta Kasih, tetapi para biarawati konggregasi dalam sebuah pemungutan suara yang rahasia, memilihnya untuk tetap menjabat. Ibu Teresa  sepakat untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai kepala konggregasi.
    Sepanjang tahun-tahun terakhir hidupnya, meskipun mengalami gangguan penyakit yang cukup parah, Ibu Teresa tetap mengendalikan kongregasinya serta menanggapi kebutuhan orang-orang miskin dan Gereja. Pada tahun 1997, para biarawatinya telah hampir mencapai 4000 orang, tergabung dalam 610 cabang dan tersebar di 123 negara dari berbagai belahan dunia. Pada bulan Maret 1997, Ibu Teresa memberikan restu kepada Sr. Nirmala MC, penerusnya sebagai Superior Jenderal Misionaris Cinta Kasih. Setelah bertemu dengan Paus Yohanes Paulus II untuk terakhir kalinya, ia kembali ke Calcutta dan melewatkan minggu-minggu terakhir hidupnya dengan menerima kunjungan para tamu dan memberikan nasehat-nasehat terakhir kepada para biarawatinya.
    Pada tanggal 5 September 1997 jam 9:30 malam, hidup Ibu Teresa di dunia ini berakhir. Jenazahnya dipindahkan dari Rumah Induk ke Gereja St. Thomas, gereja dekat Biara Loreto di mana ia menjejakkan kaki pertama kalinya di India hampir 69 tahun yang lalu. Ratusan ribu pelayat dari berbagai kalangan dan agama, dari India maupun luar negeri, berdatangan untuk menyampaikan penghormatan terakhir mereka.
    Ibu Teresa mendapat kehormatan dimakamkan secara kenegaraan oleh Pemerintah India pada tanggal 13 September. Jenazahnya diarak dalam kereta yang sama yang dulu digunakan mengusung jenazah Mohandas K. Gandhi and Jawaharlal Nehru, melewati jalan-jalan di Calcutta sebelum akhirnya dimakamkan di Rumah Induk Misionaris Cinta kasih.
    Ibu Teresa mewariskan teladan iman Kristiani yang kokoh, harapan yang tak kunjung padam, dan cinta kasih yang luar biasa.  Jawabannya atas panggilan Yesus, “Mari, jadilah cahaya bagi-Ku,” menjadikannya sebagai seorang Misionaris Cinta Kasih, seorang  “ibu bagi kaum miskin”,  dan sebagai simbol cinta kasih kristiani di dunia ini.


     

Kamis, 25 Juni 2015

Malaikat yang keras,namun bukan berartii kejjam tetapi sangat bijaksana..ituuulah Ayahh..

RENUNGAN
.
RAHASIA BESAR SEORANG AYAH YANG TIDAK DIKETAHUI SEORANGA ANAK BAHKAN SETIAP ANAK DIDUNIA.

Mungkin ibu lebih kerap menelpon untuk menanyakan keadaanku setiap hari, tapi apakah aku tahu, bahwa sebenarnya ayahlah yang mengingatkan ibu untuk meneleponku?
Semasa kecil, ibukulah yang lebih sering menggendongku. Tapi apakah aku tau bahwa ketika ayah pulang bekerja dengan wajah yang letih ayahlah yang selalu menanyakan apa yang aku lakukan seharian, walau beliau tak bertanya langsung kepadaku karena saking letihnya mencari nafkah dan melihatku terlelap dalam tidur nyenyakku. Saat aku sakit demam, ayah membentakku “Sudah diberitahu, Jangan minum es!” Lantas aku merengut menjauhi ayahku dan menangis didepan ibu. Tapi apakah aku tahu bahwa ayahlah yang risau dengan keadaanku, sampai beliau hanya bisa menggigit bibir menahan kesakitanku.
Ketika aku remaja, aku meminta izin untuk keluar malam. Ayah dengan tegas berkata “Tidak boleh! ”Sadarkah aku, bahwa ayahku hanya ingin menjaga aku, beliau lebih tahu dunia luar, dibandingkan aku bahkan ibuku? Karena bagi ayah, aku adalah sesuatu yang sangat berharga. Saat aku sudah dipercayai olehnya, ayah pun melonggarkan peraturannya.
Maka kadang aku melanggar kepercayaannya. Ayahlah yang setia menunggu aku diruang tamu dengan rasa sangat risau, bahkan sampai menyuruh ibu untuk mengontak beberapa temannya untuk menanyakan keadaanku, ''dimana, dan sedang apa aku diluar sana.'' Setelah aku dewasa, walau ibu yang mengantar aku ke sekolah untuk belajar, tapi tahukah aku, bahwa ayahlah yang berkata: Ibu, temanilah anakmu, aku pergi mencari nafkah dulu buat kita bersama.
Disaat aku merengek memerlukan ini – itu, untuk keperluan kuliahku, ayah hanya mengerutkan dahi, tanpa menolak, beliau memenuhinya, dan cuma berpikir, kemana aku harus mencari uang tambahan, padahal gajiku pas-pasan dan sudah tidak ada lagi tempat untuk meminjam.
Saat aku berjaya. Ayah adalah orang pertama yang berdiri dan bertepuk tangan untukku. Ayahlah yang mengabari sanak saudara, ''anakku sekarang sukses.'' Walau kadang aku cuma bisa membelikan baju koko itu pun cuma setahun sekali. Ayah akan tersenyum dengan bangga.
Dalam sujudnya ayah juga tidak kalah dengan doanya ibu, cuma bedanya ayah simpan doa itu dalam hatinya. Sampai ketika nanti aku menemukan jodohku, ayahku akan sangat berhati – hati mengizinkannya.
Dan akhirnya, saat ayah melihatku duduk diatas pelaminan bersama pasanganku, ayahpun tersenyum bahagia. Lantas pernahkah aku memergoki, bahwa ayah sempat pergi ke belakang dan menangis? Ayah menangis karena ayah sangat bahagia. Dan beliau pun berdoa, “Ya Alloh, tugasku telah selesai dengan baik. Bahagiakanlah putra putri kecilku yang manis bersama pasangannya.
''Pesan ibu ke anak untuk seorang Ayah''
Anakku..
Memang ayah tidak mengandungmu,
tapi darahnya mengalir di darahmu, namanya melekat dinamamu ...
Memang ayah tak melahirkanmu,
Memang ayah tak menyusuimu,
tapi dari keringatnyalah setiap tetesan yang menjadi air susumu ...
Nak..
Ayah memang tak menjagaimu setiap saat,
tapi tahukah kau dalam do'anya selalu ada namamu disebutnya ...
Tangisan ayah mungkin tak pernah kau dengar karena dia ingin terlihat kuat agar kau tak ragu untuk berlindung di lengannya dan dadanya ketika kau merasa tak aman...
Pelukan ayahmu mungkin tak sehangat dan seerat bunda, karena kecintaanya dia takut tak sanggup melepaskanmu...
Dia ingin kau mandiri, agar ketika kami tiada kau sanggup menghadapi semua sendiri..
Bunda hanya ingin kau tahu nak..
bahwa...
Cinta ayah kepadamu sama besarnya dengan cinta bunda..
Anakku...
Jadi didirinya juga terdapat surga bagimu... Maka hormati dan sayangi ayahmu.

Puisi Bahasa Tetun untuk Mgr Gabriel Manek, SVD

Puisi Bahasa Tetun untuk Mgr Gabriel Manek, SVD
(dibacakan oleh Ny. Theresia Neoman  saat misa di gereja Katederal Atambua)

 
 
Manuaman Lakaan, manu aman meo
Kokorek nosi Loro sa’e, to’o loro toba
Katak no nasara manfatin maromak
Katak no nasara badu Maromak
Nosi Lahurus to’o Larantuka
Nosi Larantuka tuka Colorado
 
We Lahurus, matan Lahurus
Ba dudu haris Wewe Seseik mesak
We Lahurus suli liu na, we Lahurus la’o liu na
Nodi namoris nodi namos
Hutun raiklaran renu raiklaran
Lituk no bali ina no ama, Lituk no bali nan no feton
Nalo nu ida, nalo nu kmesak
Nalo nu ida, nalo nu nesan
 
Rai Flores rai ai funan
Rai Larantuka kota Renya
Timor morin ai kamelin
Timor bit fatu hada
O rai Belu rai furak no kmidar
Rai Belu nafini rai Belu nafua
Mane diak mane kbas
Mane matenek no laran kmamar
Ne’e mak bei Nai Bispo Gabriel Manek SVD
Ba sasoka nola ba dadula nola
Rai Larantuka kota Renya
Dadi ba Maromak nian foho rai
 
Matan taka na lian nanok na
Ilas no ar moris no hun
Manuaman Lakaan manu aman meo
Kokorek nosi manfatin maromak , Nai Luli wai’k
Nosi Lahurus tuka Larantuka
Nosi Colorado tuka Larantuka
Natetuk bele mai na nesan bele mai na
Hodi dadoko hodi dadula
Hodi tanis hodi hahi
Ami hatetu ami haluli
Bei nai Manek Ama Bispo Manek
Ninin ba ne’e na batis ba ne’e na
 
 
Keterangan untuk puisi di atas:
Puisi ini merupakan kenangan dan sanjungan untuk  Mgr. Gabriel Manek  SVD yang telah mengharumkan nama Belu. Putra-putri Belu seperti dia biasanya diibaratkan dengan Manuaman Lakaan (bahasa Tetun: sang Jago atau ayam jantan dari Lakaan = gelar penguasa Belu dan sebagian  wilayah Timor tengah dan Timur). Nama Mgr. Gabriel Manek disanjung-sanjung dalam puisi ini sekaligus jasa-jasanya dikisahkan lewat puisi ini.
Bait 1: dia laksana Pahlawan,  sang jago dari Lakaan   yang berkokok dari Timur hingga ke barat - untuk mewartakan sabada dan perintah Tuhan – berawal dari Lahurus hingga ke Larantuka dan Colorado.
Demikian pun putra-putra Lakaan yang berjasa diibaratkan dengan suber air Lahurus yang sangat berjasa untuk sebagian masyarakat Belu. Bait 2.: Ia laksana air Lahurus yang mengalir ke mana-mana untuk memberi kesegaran  dan membawa kehidupan dan kebersihan bagi banyak umat di dunia – dan mengumpulkan mereka manjadi satu dan sederajat.
Bait  3.: mengisahkan jasa Mgr. yang telah berhasil membangun persaudaraan antar orang Timor dan Flores, khusunya orang Larantuka dan Orang Belu: Flores Pulau bunga, Larantuka kota Renya – Timor harum cendana dan kuat laksana karang, Belu tanah indah yang melahirkan putra terbaik – dia yang pergi meminang Kota Larantuka untuk menetap dalam  kerajaan Allah.
Bait 4.: Sehebat apa pun, seorang manusia suatu saat di akan kembali ke sumber kehidupan. Ajakan untuk semua umat, semoga semua hadir untuk menjemput dan mengarak dan member hormat kepada sang pahlawan, putra sejati dari Lakaan

 

Rai Malaka

Ditinjau dari segi Budaya dan Antropologis, penduduk Malaka dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 2 sub etnik yang besar yaitu : Ema Tetun dan Ema Dawan ”R”. Kedua sub etnik mendiami lokasi - lokasi dengan karerkteristik tertentu dengan kekhasan penduduk bermayoritas penganut agama Kristen Katolik. Masing - masing etnik tersebut mempunyai bahasa dan praktek budaya yang saling berbeda satu sama lain dan kesamaan dilain segi. Kendati demikian masyarakat Malaka dapat dengan mudah hidup rukun dikarenakan aspek kesamaan-kesamaan spesifik. Mata Pencaharian utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional.
Dari aspek ekologis, kondisi tanah Malaka sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relative merata sepanjang tahun. Daerah Malaka yang subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai yang membentang dari Malaka bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan. Selain itu dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan beberapa jenis pohon produktif seperti cendana, eukaliptus, kayu merah dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa, industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD.

B.  Sejarah Singkat Orang Malaka

Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah Malaka, bahwa sebelum orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka sebelumnya ada sebuah suku yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu Umumnya adalah "Suku Melus". Orang Melus di kenal dengan sebutan "Emafatuk oan ai oan", (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain suku melus yang menghuni daerah tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka" yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya. Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan. Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di Malaka. Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Menurut para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal - usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.

C. Susunan Strafikasi Masyarakat Malaka

Membahas tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang tingkatan - tingkatan dalam masyarakat yang ada dalam.suatu komunitas atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan - lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan pembedaan masyarakat Malaka dalam kelas - kelas hirarkis di bawah ini di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang sampai dengan kejayaan zaman kerajaan.
Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam " The Way To Happiness Of Belu People" bahwa masyarakat Malaka mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri dari :
  1. Dasi atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na'I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.
  2. Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka
  3. Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu - Atapupu) sampai pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann "Pax Nederlandica" sehingga perdagangan budak dihapus.
Pembagian masyarakat Malaka sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi "orang berpunya/the haves" (Ema Mak Soin) dan kelompok "orang miskin/the haves not" (Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya setiap hari.
Dari sudut politik pemerintahan nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok besar yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur masyarakat Malaka maka kita mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari :
  • Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.
  • Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.
  • Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.
Keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kerja nyata. Dalam hal ini, kelompok Raja berperan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa dalam proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mutu ibun) secara adat dengan korban bakaran.
Perlu ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan raja atau kerabatan horizontal yang dinamakan "klaken soman" ada juga kelompok vertikal yang disebut "Tohu Larus Hudi Oan". Dalam catatan sejarah lokal, menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku - Wehali ada 4 dato yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator yaitu, Dato Leki Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang disebut Meti Ktuik. Dato Klisuk Rai dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan Dato Mota menguasai daerah pesisir kali Benenai (Mota Ninin Hare Ninin). Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib membawahi upeti kepada rajanya.

RENCANA TERBENTUKNYA KABUPATEN MALAKA

Tulisan berikut ini mencoba memberikan gambaran yang obyektif dan sesunggunhnya tentang proses dan tahapan yuridis dari terbentuknya suatu Daerah Otonom sehingga ada pencerahan bagi masyarakat Malaka khususnya. Selain itu juga akan dikemukakan prospek dari terbentuknya suatu Daerah Otonom baru disebut dengan “Kabupaten Malaka”.
Semua elemen dalam masyarakat dapat memahami, menyiapkan diri dan merencanakan bentuk-bentuk partisipasi apa saja yang dapat ia sumbangkan demi memajukan Daerah Otonomi baru tersebut jika pada saatnya terbentuk secara defenitif. Dengan demikian, isu negatif bahwa ide memekarkan suatu wilayah hanya semata-mata untuk mengakomodir kepentingan elit-elit politik dan aparat birokrasi dapat dimengerti sebagai suatu isu destruktif yang sebetulnya tidak memiliki kebenaran secara keseluruhan.
Pertanyaan makro yang dapat dianalisis berikut ini adalah untuk apa dan mengapa suatu daerah perlu dimekarkan sebagai suatu Daerah Otonomi? Refleksi ini lebih difokuskan pada pemekaran Kabupaten Belu agar ada pemahaman yang ideal tentang pemekaran suatu daerah.
Sesuai amanat yuridis-formal, pembentukan suatu Daerah Otonom baru dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengoptimalkan berbagai potensi wilayah dan memperpendek Rentang Kendali Birokrasi yang memiliki fungsi memerintah dan yang melayani. Berbagai maksud diatas bertujuan akhir agar rakyat dapat menjadi sejahtera setidaknya ada pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Paradigma ini diimplementasikan oleh semua “Stakeholder” berbasiskan pada pusat-pusat kekuasaan yang dibentuk dalam Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yaitu Pemerintah Daerah (Birokrasi dan DPRD) bersama semua elemen dan civil society seperti Perguruyan Tinggi, LSM, Parpol dan Lembaga Pers.
Dalam tataran ini, terbentuknya Daerah Otonom baru “Kabupaten Malaka” diharapkan tidak saja memenuhi kebutuhan elit birokrasi karena adanya posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang juga dianggap “berwibawa” dan “terhormat” tetapi juga daerah otonom baru tersebut harus dipersiapkan dan didorong untuk optimalisasi potensi wilayah seperti sector peternakan, pertanian, industri kecil dan pengembangan pendidikan yang berbasiskan sekolah-sekolah kejuruan. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, Kabupaten Malaka dapat direncanakan sebagai daerah “Transit” yang menghubungkan mobilisasi barang dan manusia dari Timor Leste ke Kupang dan wilayah-wilayah lain di NTT.
Konsekwensi logisnya adalah adanya infrastruktur yang memadai dan industri-industri jasa yang sesuai kebutuhan. Momentum inilah sebetulnya yang diharapkan dapat memberi kontribusi yang realistis bagi masyarakat pada umumnya karena terbukanya lapangan kerja baru dan adanya daya beli yang signifikan atas hasil-hasil produksi yang melibatkan warga kedua negara di kawasan perbatasan.

WILAYAH MALAKA

Wilayah Malaka terdiri atas 12 Kecamatan yaitu :
  1. Kecamatan Lokufeu
  2. Kecamatan Sasitamean.
  3. Kecamatan Laenmane.
  4. Kecamatan Malaka Timur.
  5. Kecamatan Kobalima.
  6. Kecamatan Kobalima Timur.
  7. Kecamatan Malaka Tengah
  8. Kecamatan Malaka Barat
  9. Kecamatan Weliman
  10. Kecamatan Wewiku
  11. Kecamatan Botin Leobele
  12. Kecamatan Rinhat

SUMBER DAYA ALAM DAERAH MALAKA

Sumber Daya Alam wilayah Malaka yang relatif besar terdiri dari SDA yang ada di laut dan SDA yang ada di darat yang mana wilayah laut terdapat kekayaan alam laut yang hingga saat ini belum tersentuh baik dari pemerintah maupun masyarakat malaka sendiri.
Sedangkan dalam konteks pengembangan ekonomi yang berbasis kerakyatan dapat memberi peluang baru untuk mengembangangkan kekayaan kekayaan darat seperti tanaman-tanaman perdagangan yang memiliki nilai ekonomi yang besar dalam pengembangan dan peningkatan produksi, diantaranya : tanaman kemiri, tanaman kakao, sorgum serta tanaman lainnya dan bahkan dapat dikembangkan sebagai daerah dengan produksi padi, kacang-kacangan dan palawija yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Malaka pada umumnya.

PEMBANGUNAN DAERAH MALAKA

Dalam konteks “grand design” Pembangunan Kabupaten Malaka tampaknya karakteristik wilayah dan peradaban masyarakat menghendaki pembangunan dan pengembangan berpola Trilogi pembangunan sector (tiga batu tunggu Versi Piet A. Tallo, SH ) yaitu sinergisitas yang berkesinambungan dan sustainable antara indikator infrastruktur (jalan, jembatan dan sarana prasarana lainnya) yang dibangun sesuai rencana tataruang wilayah sehingga tidak terjadi “crowded” kawasan yang tidak produktif dalam pengembangan wilayah.
Indikator terkait lainnya adalah adanya sarana prasarana serta sumberdaya di bidang kesehatan yang memadai agar faktor penyelamatan manusia menjadi prioritas dalam penataan kawasan Malaka masa depan. Indikator terkait lainnya adalah pengembangan ekonomi yang berbasis kerakyatan agar dapat dikembangkan dan ditumbuhkan daya beli masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Terbentuknya kelompok-kelompok usaha ekonomi rumah tangga dan industri-industri rumah tangga harus mendapat porsi perhatian yang maksimal dalam memulai membangun dan menata Kabupaten Malaka yang prospektif. Signifikansi 3 sektor utama tersebut di atas dengan sendirinya akan memacu pembangunan sektor-sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Dengan disain pembangunan Malaka yang berorientasi kerakyatan dan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, tampaknya Pemerintah Daerah yang baru terbentuk nanti bersama DPRD dapat mempersiapkan suatu model Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) yang berbasis kepentingan rakyat untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian praktek-praktek APBD yang kolonialistis tidak mendapat tempat dalam pembangunan dan pengembangan Kabupaten Malaka. Model demikian dapat disebut pembangunan Malaka berdasarkan “segitiga emas”, kesehatan masyarakat prioritas pertama, infrastruktur pendukung utama, dan ekonomi kerakyatan menjadi muara utama. Sedangkan faktor-faktor lainnya akan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tuntutan waktu dan perubahan “Tempora mutantur et nos mutamur in illis” (waktu yang berubah menuntut kita ikut berubah didalamnya).
Dengan kondisi demikian dari waktu ke waktu masyarakat Malaka dapat terus menerus menyuarakan syair yang pernah disampaikan Rene de Clereq yaitu “Daar is maar een land, het groiet naar de daad en de daad is mijn (hanya ada satu negeri yang disebut tanah airku (Tanah air Malaka), ia tumbuh lewat jerih payah dan jerih payah itu adalah jerih payahku (Jerih payah masyarakat Malaka).

BATAS WILAYAH MALAKA

Malaka termasuk wilayah perbatasan dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste. "Persiapan-persiapan administrasi termasuk pembagian wilayah, baik tanah yang berbatasan dengan Timor Leste maupun tanah adat, mesti menjadi perhatian utama  sehingga tidak terjadi masalah di

Bahasa Tetun

                  Bahasa Tetun
Bahasa Tetun merupakan anak cabang dari bahasa Austronesia, dengan penutur utama di wilayah Timor. Di Timor Leste, bahasa ini merupakan bahasa resmi, selain bahasa Portugis. Di bawah Konstitusi negara, bahasa Indonesia dan Inggris merupakan bahasa-bahasa kerja. Bagi mereka, bahasa Tetun berfungsi sebagai bahasa pemersatu dan antarsuku, seperti layaknya bahasa Indonesia.
Bahasa Tetun yang berkembang di Timor Leste mengalami proses percampuran dengan bahasa Portugis, sehingga banyak sekali ditemukan kata pinjaman dalam bahasa tersebut. Bahasa ini kerap disebut "Tetun Dili" karena bermula dari kota Dili.
Bahasa Tetun di wilayah Indonesia cukup berbeda karena hanya sedikit terpengaruh Portugis dan justru banyak menyerap kata Indonesia dan Belanda. Bahasa inilah yang dianggap sebagai bentuk asli bahasa Tetun, yang sering disebut "Tetun Terik". Dituturkan di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, bahasa ini hanya digunakan sebagai bahasa sehari-hari, sedangkan untuk urusan-urusan lainnya utamanya resmi digunakan bahasa Indonesia. ( wikipedia)