Ditinjau
dari segi Budaya dan Antropologis, penduduk Malaka dalam susunan
masyarakatnya terbagi atas 2 sub etnik yang besar yaitu : Ema Tetun dan
Ema Dawan ”R”. Kedua sub etnik mendiami lokasi - lokasi dengan
karerkteristik tertentu dengan kekhasan penduduk bermayoritas penganut
agama Kristen Katolik. Masing - masing etnik tersebut mempunyai bahasa
dan praktek budaya yang saling berbeda satu sama lain dan kesamaan
dilain segi. Kendati demikian masyarakat Malaka dapat dengan mudah hidup
rukun dikarenakan aspek kesamaan-kesamaan spesifik. Mata Pencaharian
utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional.
Dari
aspek ekologis, kondisi tanah Malaka sangat subur karena selain
memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan
curah hujan yang relative merata sepanjang tahun. Daerah Malaka yang
subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah
peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai
yang membentang dari Malaka bagian selatan sampai utara turut
mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan. Selain itu dari sub
sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan
beberapa jenis pohon produktif seperti cendana, eukaliptus, kayu merah
dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan
jasa, industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD.
B. Sejarah Singkat Orang Malaka
Sesuai
berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah Malaka, bahwa sebelum
orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka sebelumnya ada sebuah suku yang
terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu Umumnya adalah "Suku Melus".
Orang Melus di kenal dengan sebutan "Emafatuk oan ai oan", (manusia
penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar
orangnya dan bertubuh pendek. Selain suku melus yang menghuni daerah
tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui
bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka"
yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor
melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya. Namun berjalannya
waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan
Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu
yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa
disisi lain terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya
bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi
dan data.
Ada
cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang
dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama
ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah
berlainan. Dari
makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus
(Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma
menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo)
dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama
yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk
Nain.
Bahwa
para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki
wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan
masyarakatnya. Kedatangan
mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar
daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana
kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh
"Liurai Nain” di Malaka. Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai
Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana
dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain
memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain.
Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun,
Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di
laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Menurut
para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan menjadi Belu bagian
Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah
raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa
yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah
Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh
Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk
mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para
pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat
nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro
Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta
Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian
Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro
Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada
juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan
pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di
Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai
pemikiran sejarahwan Belu, dalam berbagai penuturan di Utara maupun di
Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian
Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran
Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain.
Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai
tak kelihatan itu yang menandai asal - usul pendatang di Belu membaur
dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.
C. Susunan Strafikasi Masyarakat Malaka
Membahas
tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang
tingkatan - tingkatan dalam masyarakat yang ada dalam.suatu komunitas
atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan -
lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan
pembedaan masyarakat Malaka dalam kelas - kelas hirarkis di bawah ini
di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang
sampai dengan kejayaan zaman kerajaan.
Menurut
H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria
dalam " The Way To Happiness Of Belu People" bahwa masyarakat Malaka
mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara
hirarkis terdiri dari :
- Dasi atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na'I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.
- Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka
- Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu - Atapupu) sampai pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann "Pax Nederlandica" sehingga perdagangan budak dihapus.
Pembagian masyarakat Malaka
sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi "orang
berpunya/the haves" (Ema Mak Soin) dan kelompok "orang miskin/the haves
not" (Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini
tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya
setiap hari.
Dari
sudut politik pemerintahan nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan
masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok besar yang saling
melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur
masyarakat Malaka maka kita mengenal beberapa kelompok/golongan
masyarakat yang terdiri dari :
- Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.
- Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.
- Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.
Keterkaitan
antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program
dan kerja nyata. Dalam hal ini, kelompok Raja berperan mengawasi
pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun
Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di
sini bahwa dalam proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mutu
ibun) secara adat dengan korban bakaran.
Perlu
ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan
raja atau kerabatan horizontal yang dinamakan "klaken soman" ada juga
kelompok vertikal yang disebut "Tohu Larus Hudi Oan". Dalam catatan
sejarah lokal, menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku - Wehali ada 4 dato
yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator yaitu, Dato Leki
Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang
disebut Meti Ktuik. Dato Klisuk Rai
dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan
Dato Mota menguasai daerah pesisir kali Benenai (Mota Ninin Hare Ninin).
Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib
membawahi upeti kepada rajanya.
RENCANA TERBENTUKNYA KABUPATEN MALAKA
Tulisan
berikut ini mencoba memberikan gambaran yang obyektif dan sesunggunhnya
tentang proses dan tahapan yuridis dari terbentuknya suatu Daerah
Otonom sehingga ada pencerahan bagi masyarakat Malaka khususnya. Selain itu juga akan dikemukakan prospek dari terbentuknya suatu Daerah Otonom baru disebut dengan “Kabupaten Malaka”.
Semua
elemen dalam masyarakat dapat memahami, menyiapkan diri dan
merencanakan bentuk-bentuk partisipasi apa saja yang dapat ia sumbangkan
demi memajukan Daerah Otonomi baru tersebut jika pada saatnya terbentuk
secara defenitif. Dengan demikian, isu negatif bahwa ide memekarkan
suatu wilayah hanya semata-mata untuk mengakomodir kepentingan elit-elit
politik dan aparat birokrasi dapat dimengerti sebagai suatu isu
destruktif yang sebetulnya tidak memiliki kebenaran secara keseluruhan.
Pertanyaan
makro yang dapat dianalisis berikut ini adalah untuk apa dan mengapa
suatu daerah perlu dimekarkan sebagai suatu Daerah Otonomi? Refleksi ini
lebih difokuskan pada pemekaran Kabupaten Belu agar ada pemahaman yang
ideal tentang pemekaran suatu daerah.
Sesuai
amanat yuridis-formal, pembentukan suatu Daerah Otonom baru dimaksudkan
untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengoptimalkan berbagai
potensi wilayah dan memperpendek Rentang Kendali Birokrasi yang memiliki
fungsi memerintah dan yang melayani. Berbagai maksud diatas bertujuan
akhir agar rakyat dapat menjadi sejahtera setidaknya ada pemenuhan
kebutuhan dasar (Basic Need) bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan
kelas bawah. Paradigma ini diimplementasikan oleh semua “Stakeholder”
berbasiskan pada pusat-pusat kekuasaan yang dibentuk dalam Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik yaitu Pemerintah Daerah (Birokrasi dan
DPRD) bersama semua elemen dan civil society seperti Perguruyan Tinggi,
LSM, Parpol dan Lembaga Pers.
Dalam
tataran ini, terbentuknya Daerah Otonom baru “Kabupaten Malaka”
diharapkan tidak saja memenuhi kebutuhan elit birokrasi karena adanya
posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat
yang juga dianggap “berwibawa” dan “terhormat” tetapi juga daerah
otonom baru tersebut harus dipersiapkan dan didorong untuk optimalisasi
potensi wilayah seperti sector peternakan, pertanian, industri kecil dan
pengembangan pendidikan yang berbasiskan sekolah-sekolah kejuruan.
Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste,
Kabupaten Malaka dapat direncanakan sebagai daerah “Transit” yang
menghubungkan mobilisasi barang dan manusia dari Timor Leste ke Kupang
dan wilayah-wilayah lain di NTT.
Konsekwensi
logisnya adalah adanya infrastruktur yang memadai dan industri-industri
jasa yang sesuai kebutuhan. Momentum inilah sebetulnya yang diharapkan
dapat memberi kontribusi yang realistis bagi masyarakat pada umumnya
karena terbukanya lapangan kerja baru dan adanya daya beli yang
signifikan atas hasil-hasil produksi yang melibatkan warga kedua negara
di kawasan perbatasan.
WILAYAH MALAKA
Wilayah Malaka terdiri atas 12 Kecamatan yaitu :
- Kecamatan Lokufeu
- Kecamatan Sasitamean.
- Kecamatan Laenmane.
- Kecamatan Malaka Timur.
- Kecamatan Kobalima.
- Kecamatan Kobalima Timur.
- Kecamatan Malaka Tengah
- Kecamatan Malaka Barat
- Kecamatan Weliman
- Kecamatan Wewiku
- Kecamatan Botin Leobele
- Kecamatan Rinhat
SUMBER DAYA ALAM DAERAH MALAKA
Sedangkan dalam
konteks pengembangan ekonomi yang berbasis kerakyatan dapat memberi
peluang baru untuk mengembangangkan kekayaan kekayaan darat seperti
tanaman-tanaman perdagangan yang memiliki nilai ekonomi yang besar dalam
pengembangan dan peningkatan produksi, diantaranya : tanaman kemiri,
tanaman kakao, sorgum serta tanaman lainnya dan bahkan dapat dikembangkan
sebagai daerah dengan produksi padi, kacang-kacangan dan palawija yang
dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Malaka pada umumnya.
PEMBANGUNAN DAERAH MALAKA
Dalam
konteks “grand design” Pembangunan Kabupaten Malaka tampaknya
karakteristik wilayah dan peradaban masyarakat menghendaki pembangunan
dan pengembangan berpola Trilogi pembangunan sector (tiga batu tunggu
Versi Piet A. Tallo, SH ) yaitu sinergisitas yang berkesinambungan dan
sustainable antara indikator infrastruktur (jalan, jembatan dan sarana
prasarana lainnya) yang dibangun sesuai rencana tataruang wilayah
sehingga tidak terjadi “crowded” kawasan yang tidak produktif dalam
pengembangan wilayah.
Indikator
terkait lainnya adalah adanya sarana prasarana serta sumberdaya di
bidang kesehatan yang memadai agar faktor penyelamatan manusia menjadi
prioritas dalam penataan kawasan Malaka masa depan. Indikator terkait
lainnya adalah pengembangan ekonomi yang berbasis kerakyatan agar dapat
dikembangkan dan ditumbuhkan daya beli masyarakat kelas menengah dan
kelas bawah. Terbentuknya kelompok-kelompok usaha ekonomi rumah tangga
dan industri-industri rumah tangga harus mendapat porsi perhatian yang
maksimal dalam memulai membangun dan menata Kabupaten Malaka yang
prospektif. Signifikansi
3 sektor utama tersebut di atas dengan sendirinya akan memacu
pembangunan sektor-sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Dengan
disain pembangunan Malaka yang berorientasi kerakyatan dan pemenuhan
kebutuhan dasar tersebut, tampaknya Pemerintah Daerah yang baru
terbentuk nanti bersama DPRD dapat mempersiapkan suatu model Anggaran
Pembangunan Belanja Daerah (APBD) yang berbasis kepentingan rakyat untuk
kesejahteraan masyarakat.
Dengan
demikian praktek-praktek APBD yang kolonialistis tidak mendapat tempat
dalam pembangunan dan pengembangan Kabupaten Malaka. Model demikian
dapat disebut pembangunan Malaka berdasarkan “segitiga emas”, kesehatan
masyarakat prioritas pertama, infrastruktur pendukung utama, dan ekonomi
kerakyatan menjadi muara utama. Sedangkan faktor-faktor lainnya akan
tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tuntutan waktu dan perubahan
“Tempora mutantur et nos mutamur in illis” (waktu yang berubah menuntut
kita ikut berubah didalamnya).
Dengan
kondisi demikian dari waktu ke waktu masyarakat Malaka dapat terus
menerus menyuarakan syair yang pernah disampaikan Rene de Clereq yaitu
“Daar is maar een land, het groiet naar de daad en de daad is mijn
(hanya ada satu negeri yang disebut tanah airku (Tanah air Malaka), ia
tumbuh lewat jerih payah dan jerih payah itu adalah jerih payahku (Jerih
payah masyarakat Malaka).
BATAS WILAYAH MALAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar