klasik

Kamis, 25 Juni 2015

Rai Malaka

Ditinjau dari segi Budaya dan Antropologis, penduduk Malaka dalam susunan masyarakatnya terbagi atas 2 sub etnik yang besar yaitu : Ema Tetun dan Ema Dawan ”R”. Kedua sub etnik mendiami lokasi - lokasi dengan karerkteristik tertentu dengan kekhasan penduduk bermayoritas penganut agama Kristen Katolik. Masing - masing etnik tersebut mempunyai bahasa dan praktek budaya yang saling berbeda satu sama lain dan kesamaan dilain segi. Kendati demikian masyarakat Malaka dapat dengan mudah hidup rukun dikarenakan aspek kesamaan-kesamaan spesifik. Mata Pencaharian utama adalah bertani yang masih dikerjakan secara ekstensif tradisional.
Dari aspek ekologis, kondisi tanah Malaka sangat subur karena selain memiliki lapisan tanah jenis berpasir dan hitam juga dikondisikan dengan curah hujan yang relative merata sepanjang tahun. Daerah Malaka yang subur tersebut membuatnya potensial untuk dikembangkan menjadi daerah peternakan dan pertanian. Sub sektor perikanan dengan kawasan pantai yang membentang dari Malaka bagian selatan sampai utara turut mempengaruhi pemerataan pekerjaan dan pendapatan. Selain itu dari sub sektor kehutanan kontribusi yang diperoleh juga signifikan dengan beberapa jenis pohon produktif seperti cendana, eukaliptus, kayu merah dan jati. Dari sektor dan sub sektor lainnya seperti perdagangan dan jasa, industri dan lainnya juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan PDRB dan peningkatan PAD.

B.  Sejarah Singkat Orang Malaka

Sesuai berbagai penelitian dan cerita sejarah daerah Malaka, bahwa sebelum orang Malaka menghuni Daerah Malaka maka sebelumnya ada sebuah suku yang terlebih dahulu mendiami wilayah Kab. Belu Umumnya adalah "Suku Melus". Orang Melus di kenal dengan sebutan "Emafatuk oan ai oan", (manusia penghuni batu dan kayu). Tipe manusia Melus adalah berpostur kuat, kekar orangnya dan bertubuh pendek. Selain suku melus yang menghuni daerah tersebut, berdasarkan sebuah sumber terpercaya yang penulis ketahui bahwa Orang Malaka sebenarnya berasal dari "Sina Mutin Malaka" yang datang dari Negara Cina atau Thailand yang berlayar menuju Timor melalui Larantuka dan mendiami daerah Belu umumnya. Namun berjalannya waktu terjadilah kawin campur antara orang asli Suku Melus dengan Pendatang Sina Mutin Malaka hingga menyebar ke wilayah selatan Kab. Belu yang sekarang mendiami wilayah Malaka, namun perlu diketahui bahwa disisi lain terdapat berbagai versi cerita. Kendati Demikian, intinya bahwa, ada kesamaan universal yang dapat ditarik dari semua informasi dan data.
Ada cerita bahwa ada tiga orang bersaudara dari tanah Malaka yang datang dan tinggal di Belu umumnya, bercampur dengan suku asli Melus. Nama ketiga saudara itu menurut para tetua adat masing - masing daerah berlainan. Dari makoan Faturuin menyebutnya Nekin Mataus (Likusen), Suku Mataus (Sonbay), dan Bara Mataus (Fatuaruin). Sedangkan Makoan asal Dirma menyebutnya Loro Sankoe (Debuluk, Welakar), Loro Banleo (Dirma, Sanleo) dan Loro Sonbay (Dawan). Namun menurut beberapa Makoan asal Besikama yang berasal dari Malaka ialah; Wehali Nain, Wewiku Nain dan Haitimuk Nain.
Bahwa para pendatang dari Malaka itu bergelar raja atau loro dan memiliki wilayah kekuasaan yang jelas dengan persekutuan yang akrab dan masyarakatnya. Kedatangan mereka ke tanah Malaka hanya untuk menjalin hubungan dagang antar daerah di bidang kayu cendana dan hubungan etnis keagamaan yang mana kekuasaan Tanah Malaka pada saat itu dipimpinan atau dipegang oleh "Liurai Nain” di Malaka. Bahakan menurut para peneliti asing ”Liurai Nain” kekuasaaannya juga merambah sampai sebahagian daerah Dawan (insana dan Biboki). Dalam melaksanakan tugasnya di Malaka, Liurai Nain memiliki perpanjangantangan yaitu Wewiku-Wehali dan Haitimuk Nain. Selain juga ada Faturuin, Sonabi dan Suai Kamanasa serta Loro Lakekun, Dirma, Fialaran, maubara, Biboki dan Insana. Liu Rai sendiri menetap di laran sebagai pusat kekuasaan kerajaan Wewiku-Wehali.
Menurut para sejarahwan Tanah Malaka disebarluaskan menjadi Belu bagian Selatan. Pada masa penjajahan Belanda muncullah siaran dari pemerintah raja - raja dengan apa yang disebutnya "Zaman Keemasan Kerajaan". Apa yang kita catat dan dikenal dalam sejarah daerah Belu, khususnya wilayah Malaka adalah adanya kerajaan Wewiku-Wehali (pusat kekuasaan seluruh Malaka). Menurut penuturan para tetua adat dari Wewiku-Wehali, untuk mempermudah pengaturan sistem pemerintahan, Liurai Nain mengirim para pembantunya ke seluruh wilayah Kab. Belu sebagai Loro dan Liurai.
Tercatat nama - nama pemimpin besar yang dikirim dari Wewiku-Wehali seperti Loro Dirma, Loro Lakekun, Biboki Nain, Harneno dan Insana Nain serta Nenometan Anas dan Fialaran. Ada juga kerajaan Fialaran di Belu bagian Utara yang dipimpin Dasi Mau Bauk dengan kaki tangannya seperti Loro Bauho, Lakekun, Naitimu, Asumanu, Lasiolat dan Lidak. Selain itu ada juga nama seperti Dafala, manleten, Umaklaran Sorbau. Dalam perkembangan pemerintahannya muncul lagi tiga bersaudara yang ikut memerintah di Utara yaitu Tohe Nain, Maumutin dan Aitoon.
Sesuai pemikiran sejarahwan Belu, dalam berbagai penuturan di Utara maupun di Selatan terkenal dengan nama empat jalinan terkait. Di Belu Utara bagian Barat dikenal Umahat, Rin besi hat yaitu Dafala, Manuleten, Umaklaran Sorbau dibagian Timur ada Asumanu Tohe, Besikama-Lasaen, Umalor-Lawain. Dengan demikian rupanya keempat bersaudara yang satunya menjelma sebagai tak kelihatan itu yang menandai asal - usul pendatang di Belu membaur dengan penduduk asli Melus yang sudah lama punah.

C. Susunan Strafikasi Masyarakat Malaka

Membahas tentang struktur masyarakat tidak lain dari pada mengulas tentang tingkatan - tingkatan dalam masyarakat yang ada dalam.suatu komunitas atau persekutuan tertentu. Yang tersusun dalam susunan atau lapisan - lapisan dalam masyarakat yang disebut stratifikasi sosial. Pembagian dan pembedaan masyarakat Malaka dalam kelas - kelas hirarkis di bawah ini di dasarkan pada turunan/ras yang yang ada sejak penduduk para pendatang sampai dengan kejayaan zaman kerajaan.
Menurut H.J. Grijzen seperti dikutip dalam tulisan Rm. Florens Maxi Un Bria dalam " The Way To Happiness Of Belu People" bahwa masyarakat Malaka mengenal klasifikasi masyarakatnya atas 3 (tiga) golongan, yang secara hirarkis terdiri dari :
  1. Dasi atau golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat dan dari kelompok inilah terpilih Loro / Liurai / Na'I yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun temurun.
  2. Renu yang tidak lain adalah rakyat jelata yang merdeka
  3. Ata atau klason yang merupakan golongan hamba sahaya. Mereka yang masuk dalam golongan ini biasanya merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan masyarakat golongan renu atau golongan dasi. Perdagangan budak belian ini sempat menjadi komoditi pada tahun 1892 (pada daerah Jenilu - Atapupu) sampai pada akhirnya di awal abad 20-an Pemerintah Belanda mengeluarkann "Pax Nederlandica" sehingga perdagangan budak dihapus.
Pembagian masyarakat Malaka sendiri ditinjau dari segi ekonomis terdiri dari klasifikasi "orang berpunya/the haves" (Ema Mak Soin) dan kelompok "orang miskin/the haves not" (Ema Kmukit). Ukuran untuk menentukan dua macam kelas ini tergantung pada pendapatan yang ia peroleh dan cara atau pola hidupnya setiap hari.
Dari sudut politik pemerintahan nasional, kita mengetahui bahwa penggolongan masyarakat Jawa atas tiga golongan / tiga kelompok besar yang saling melengkapi satu dengan yang lain. Dalam keterkaitannya dengan struktur masyarakat Malaka maka kita mengenal beberapa kelompok/golongan masyarakat yang terdiri dari :
  • Pertama adalah kelompok teratas atau kelompok raja (Nain Oan) masuk kelompok priyayi.
  • Kelompok lain adalah kelompok masyarakat bawah (Hutun Renu) atau marjinal dan orang kecil.
  • Antara dua kelompok itu ada kelompok penengah atau disebut Fukun dato.
Keterkaitan antara ketiga kelompok utama tersebut terwujud dalam realisasi program dan kerja nyata. Dalam hal ini, kelompok Raja berperan mengawasi pelaksanaan pembangunan dan membuat putusan pemerintahan. Kelompok Hutun Renu sebagai mediator antara kedua kelompok tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa dalam proses pengambilan keputusan (fui mutu lian-fui mutu ibun) secara adat dengan korban bakaran.
Perlu ditambahkan disini bahwa dalam jajaran dan tataran kelompok penurutan raja atau kerabatan horizontal yang dinamakan "klaken soman" ada juga kelompok vertikal yang disebut "Tohu Larus Hudi Oan". Dalam catatan sejarah lokal, menuturkan bahwa di kerajaan Wewiku - Wehali ada 4 dato yang sangat berperan dalam fungsinya sebagai mediator yaitu, Dato Leki Nahak Tamiru Usi Hawai Lerek (penguasa daerah pesisir laut) atau yang disebut Meti Ktuik. Dato Klisuk Rai dan Klisuk Lor yang menguasai daerah enclave laut (hasan). Sedangkan Dato Mota menguasai daerah pesisir kali Benenai (Mota Ninin Hare Ninin). Sehingga sesekali dalam kurun waktu tertentu seorang Dato wajib membawahi upeti kepada rajanya.

RENCANA TERBENTUKNYA KABUPATEN MALAKA

Tulisan berikut ini mencoba memberikan gambaran yang obyektif dan sesunggunhnya tentang proses dan tahapan yuridis dari terbentuknya suatu Daerah Otonom sehingga ada pencerahan bagi masyarakat Malaka khususnya. Selain itu juga akan dikemukakan prospek dari terbentuknya suatu Daerah Otonom baru disebut dengan “Kabupaten Malaka”.
Semua elemen dalam masyarakat dapat memahami, menyiapkan diri dan merencanakan bentuk-bentuk partisipasi apa saja yang dapat ia sumbangkan demi memajukan Daerah Otonomi baru tersebut jika pada saatnya terbentuk secara defenitif. Dengan demikian, isu negatif bahwa ide memekarkan suatu wilayah hanya semata-mata untuk mengakomodir kepentingan elit-elit politik dan aparat birokrasi dapat dimengerti sebagai suatu isu destruktif yang sebetulnya tidak memiliki kebenaran secara keseluruhan.
Pertanyaan makro yang dapat dianalisis berikut ini adalah untuk apa dan mengapa suatu daerah perlu dimekarkan sebagai suatu Daerah Otonomi? Refleksi ini lebih difokuskan pada pemekaran Kabupaten Belu agar ada pemahaman yang ideal tentang pemekaran suatu daerah.
Sesuai amanat yuridis-formal, pembentukan suatu Daerah Otonom baru dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, mengoptimalkan berbagai potensi wilayah dan memperpendek Rentang Kendali Birokrasi yang memiliki fungsi memerintah dan yang melayani. Berbagai maksud diatas bertujuan akhir agar rakyat dapat menjadi sejahtera setidaknya ada pemenuhan kebutuhan dasar (Basic Need) bagi kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Paradigma ini diimplementasikan oleh semua “Stakeholder” berbasiskan pada pusat-pusat kekuasaan yang dibentuk dalam Negara Kesatuan yang berbentuk Republik yaitu Pemerintah Daerah (Birokrasi dan DPRD) bersama semua elemen dan civil society seperti Perguruyan Tinggi, LSM, Parpol dan Lembaga Pers.
Dalam tataran ini, terbentuknya Daerah Otonom baru “Kabupaten Malaka” diharapkan tidak saja memenuhi kebutuhan elit birokrasi karena adanya posisi-posisi strategis dalam pemerintahan dan lembaga perwakilan rakyat yang juga dianggap “berwibawa” dan “terhormat” tetapi juga daerah otonom baru tersebut harus dipersiapkan dan didorong untuk optimalisasi potensi wilayah seperti sector peternakan, pertanian, industri kecil dan pengembangan pendidikan yang berbasiskan sekolah-sekolah kejuruan. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan Negara Timor Leste, Kabupaten Malaka dapat direncanakan sebagai daerah “Transit” yang menghubungkan mobilisasi barang dan manusia dari Timor Leste ke Kupang dan wilayah-wilayah lain di NTT.
Konsekwensi logisnya adalah adanya infrastruktur yang memadai dan industri-industri jasa yang sesuai kebutuhan. Momentum inilah sebetulnya yang diharapkan dapat memberi kontribusi yang realistis bagi masyarakat pada umumnya karena terbukanya lapangan kerja baru dan adanya daya beli yang signifikan atas hasil-hasil produksi yang melibatkan warga kedua negara di kawasan perbatasan.

WILAYAH MALAKA

Wilayah Malaka terdiri atas 12 Kecamatan yaitu :
  1. Kecamatan Lokufeu
  2. Kecamatan Sasitamean.
  3. Kecamatan Laenmane.
  4. Kecamatan Malaka Timur.
  5. Kecamatan Kobalima.
  6. Kecamatan Kobalima Timur.
  7. Kecamatan Malaka Tengah
  8. Kecamatan Malaka Barat
  9. Kecamatan Weliman
  10. Kecamatan Wewiku
  11. Kecamatan Botin Leobele
  12. Kecamatan Rinhat

SUMBER DAYA ALAM DAERAH MALAKA

Sumber Daya Alam wilayah Malaka yang relatif besar terdiri dari SDA yang ada di laut dan SDA yang ada di darat yang mana wilayah laut terdapat kekayaan alam laut yang hingga saat ini belum tersentuh baik dari pemerintah maupun masyarakat malaka sendiri.
Sedangkan dalam konteks pengembangan ekonomi yang berbasis kerakyatan dapat memberi peluang baru untuk mengembangangkan kekayaan kekayaan darat seperti tanaman-tanaman perdagangan yang memiliki nilai ekonomi yang besar dalam pengembangan dan peningkatan produksi, diantaranya : tanaman kemiri, tanaman kakao, sorgum serta tanaman lainnya dan bahkan dapat dikembangkan sebagai daerah dengan produksi padi, kacang-kacangan dan palawija yang dapat meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat Malaka pada umumnya.

PEMBANGUNAN DAERAH MALAKA

Dalam konteks “grand design” Pembangunan Kabupaten Malaka tampaknya karakteristik wilayah dan peradaban masyarakat menghendaki pembangunan dan pengembangan berpola Trilogi pembangunan sector (tiga batu tunggu Versi Piet A. Tallo, SH ) yaitu sinergisitas yang berkesinambungan dan sustainable antara indikator infrastruktur (jalan, jembatan dan sarana prasarana lainnya) yang dibangun sesuai rencana tataruang wilayah sehingga tidak terjadi “crowded” kawasan yang tidak produktif dalam pengembangan wilayah.
Indikator terkait lainnya adalah adanya sarana prasarana serta sumberdaya di bidang kesehatan yang memadai agar faktor penyelamatan manusia menjadi prioritas dalam penataan kawasan Malaka masa depan. Indikator terkait lainnya adalah pengembangan ekonomi yang berbasis kerakyatan agar dapat dikembangkan dan ditumbuhkan daya beli masyarakat kelas menengah dan kelas bawah. Terbentuknya kelompok-kelompok usaha ekonomi rumah tangga dan industri-industri rumah tangga harus mendapat porsi perhatian yang maksimal dalam memulai membangun dan menata Kabupaten Malaka yang prospektif. Signifikansi 3 sektor utama tersebut di atas dengan sendirinya akan memacu pembangunan sektor-sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan.
Dengan disain pembangunan Malaka yang berorientasi kerakyatan dan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, tampaknya Pemerintah Daerah yang baru terbentuk nanti bersama DPRD dapat mempersiapkan suatu model Anggaran Pembangunan Belanja Daerah (APBD) yang berbasis kepentingan rakyat untuk kesejahteraan masyarakat.
Dengan demikian praktek-praktek APBD yang kolonialistis tidak mendapat tempat dalam pembangunan dan pengembangan Kabupaten Malaka. Model demikian dapat disebut pembangunan Malaka berdasarkan “segitiga emas”, kesehatan masyarakat prioritas pertama, infrastruktur pendukung utama, dan ekonomi kerakyatan menjadi muara utama. Sedangkan faktor-faktor lainnya akan tumbuh dan berkembang bersamaan dengan tuntutan waktu dan perubahan “Tempora mutantur et nos mutamur in illis” (waktu yang berubah menuntut kita ikut berubah didalamnya).
Dengan kondisi demikian dari waktu ke waktu masyarakat Malaka dapat terus menerus menyuarakan syair yang pernah disampaikan Rene de Clereq yaitu “Daar is maar een land, het groiet naar de daad en de daad is mijn (hanya ada satu negeri yang disebut tanah airku (Tanah air Malaka), ia tumbuh lewat jerih payah dan jerih payah itu adalah jerih payahku (Jerih payah masyarakat Malaka).

BATAS WILAYAH MALAKA

Malaka termasuk wilayah perbatasan dengan Negara Republik Demokratik Timor Leste. "Persiapan-persiapan administrasi termasuk pembagian wilayah, baik tanah yang berbatasan dengan Timor Leste maupun tanah adat, mesti menjadi perhatian utama  sehingga tidak terjadi masalah di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar