klasik

Jumat, 24 Mei 2013

DI BALIK JUBAH PUTIH









Embun basah masih berbau dan terlihat belum mongering pergi. Tak tau lagi, pagi seperti apa yang aku inginkan.  Coba  melawan aliran  dingin yang menhujani tubuh. Semua belum berubah bahkan mungkin takkan berubah.  Menyembah dalam tekukan panjang tak pernah beralih ataupun berbelok arah. Aturan tetaplah aturan, tak bisa kuubah layaknya catur dalam permainan.
                Datanglah suatu pagi yang baru, membawa perbedaan dalam tampilan nuansa biru yang menyejukan, desiran-desiran putih terdengar berbisik meski mengusik. Lalu mampirlah kebekuan tanpa tanya dan candapun mati. Jika Tuhan ingin, Ia akan memanggilku pagi ini untuk medengarkan cerita hatinya, tapi tak semua harus sejalan. Putaran baru siap menjelaja bundaran piring berkaca pada dataran dinding, deringan seiring memberiku satu isyarat untuk segera mengenakan Rok putih panjang dan menjinjing  sekelompok buku-buku berayat suci. Langkahpun tak tertatih  melainkan pasti tuk berjalan menelusuri lorong-lorong tua yang berkeriput.
Tepat pada sebuah deretan bangku aku terhenti, mantapkan hati untuk mulai bertekuk lutut menyerukan nama Tuhan. Melodi merdu mengawali perjumpaanku kepada Tuhan, sebagai hadia terindah untuk waktu yang baru dan hembusan yang masih menginap, kurangkaikan sebuah puisi dalam syair-syair pendek. Banyak hal yang kukatakan  tapi tidak untuk jantungku yang berdetak karenanya. Entah mengapa kuingin hal itu hadir dengan gaya yang lebih klasik.
Hingga usai aku masih ingin berdiam diri dibalik ruang suci tahun 60-an itu. Coba kuhadirkan satu kata yang kusimpan setahun lamanya.
“CINTA”  sebuah kata yang lima tanpa kalimat.
“inilah kata yang ingin kukatakan pada-Mu Tuhan. Ini bukan tentang cinta antara aku, Engkau dan mereka. Tapi, ini tentang cinta antara aku dengan dirinya”
Kata-kata itu terucap perlahan pelan, mengupas hati dengan hati-hati kelak tak menyobek lara yang mantap tuk katakan  semua tentang isi batinku. Aku tahu ini tak mungkin salah setelah refelksi lama yang kujalani. Semuanya tersembunyi  ,cukuplah kalau akau dan Engkau yang tahu tentang semua ini.
Sejenak sebuah kalimat ingin kuucapkan kembali , tiba-tiba ada lain insane yang mengubah semua keheningan dan perbincanganku dengan Tuhan. Sedikit tersentak kecewa namun tak harus kulakukan.
“Kelvin…” It’s my name.
“Kelvin.. waktunya sarapan, aku akan menunggumu di meja makan”
Itu seruan sahabat namanya Jhovan yang sering kusapa sayang dengan nama Jho, bukan sekedar sahabat tapi sahabat seperjuangan yang setianya tak perna padam.
“ya.. aku  akan menyusul” jawabku tak banyak.
Lalu ku akhiri perjumpaanku dengan sebuah janji bahwa kuakan kembali setelah sarapan pagiku selsai, serambiku  katakan juga hari ini harus kudapatkan jawaban pasti.
Kini  kembali  pada kursi tua yang  tlah kutempati  4 tahun lamanya. Inginku disini sepanjang hari , memeluknya dan bersamanya menyisakan waktu. Tapi masih ada yang lain tuk sebuah perpisahan singkat. Tatapanku tak mati tuk pandangi wajah-wajah yang melekat hidup dalam hatiku.
“Vin..”  Panggilan kesayanganku yang sedikit lebai, tapi itulah gambaran kasih sayang sahabat-sahabatku.
“Vin.. Ko pagi-pagi melamun, ada apa ?”
“Woi.. Vin masih pagi kawan , ko melamun?” ada sapa lain dari sahabat semeja, namanya Devan.
“Vin……, hey..”  kali ini dari seorang lainnya juga, Vino yang biasa di panggil No. sahabat semeja yang menyapaku sambil menepuk bahu hingga kutersadar dalam kejutan.
“ Oh hai… Ada apa ?”
“Kamu kenapa Vin ? ini masih sangat pagi, tapi kamu sudah membisu dalam lamunan” ujar Vino lagi dalam senyuman tipis.
“Ia Vin.. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan ? Ayolah ceritakan saja kawan”  sambung Devan.
Ada seseorang yang balik menatapku penuh tanya, Itu dia sahabat penaku Jhovan. Tergambar jelas dibola matanya , bahwa ia hampir mengetahui sesuatu tentang apa yang kusembunyikan. Wajar akan hal itu, semua tentang aku ia tahu pasti seperti apa. Namun aku tak lemah tuk mencoba sembunyikan semua itu. Pembicaraanpun kualihkan jauh dibalik suasana putih yang hampir memerah.
“ Ah.. Tidak kawan. Aku sama skali tidak melamunkan apapun, ku hanya  memikirkan tugas yang akan kita  jalankan hari ini. Aku sedikit lelah jadi aku pikir lelahku pasti akan bertambah”
Tak ada tanggapan , wajah-wajah yang kebingunganpun mulai terlukis lembut, namun ada satu yang tak ragu .
“Sudahlah Vin, aku tahu bukan itu yang kamu pikirkan sesungguhnya. Pasti ada hal yang sangat penting. Ayolah ceritakan saja.. kita kan sahabat-sahabatmu. Siapa tahu kita bisa membantumu” ujar Devan dengan pasti dalam nada yang tak lepas.
Aku terdiam tanpa membungkam rasa . kucoba pertahankan kata yang ingin terucap dalam kepalan yang erat. Namun semua masih berpihak kepadaku ,jam makanpun usai dan ku segera  bergegas pergi menjauhi sahabat-sahabatku. Tak peduli seperti  apa responnya dan tak peduli apa tanggapan mereka.
“ Ok. Aku pamit duluan ya.. lain waktu baru dilanjutkan obrolannya”
“Tapi Vin.. “
Ujaran singkat tak lagi ingin kudengarkan . kuberlari sejauh mungkin dari perbincangan hangat itu. Mencari penyejuk tuk redamkan semua rasa yang ingin ku tangisi segera. Kembali ke kamar tidaurku adalah hal terbaik, bukan untuk terlelap tapi untuk merenungi semua yang akan terjadi hari ini.
Lalu menghampiri sebuah buvet tua punyaku, di dalam laci kecilnya ku simpan beberapa lembaran putih  panjang yang tersusun rapi dalam sebuah map biru. Sebelum ku keluar dari ruangan itu, ku luangkan waktuku sedikit untuk mengintip handphoneku, dan ternyata ada sebuah pesan singkat. Penuh penasaran kubuka pesan itu.sebuah tulisan yang menguatkan tekadku.
‘Selamat Pagi.. Aku mencintaimu’
Tidak banyak kata itu, namun yang kuraskan adalah mekarnya hati yang tak bisa terungkap oleh kata yang sama. Rok putih masih kukenakan dan masih terus ingin kukenakan sepanjang hari ini. Lalu kumulai melangkah dengan sedikit senyum pasti, melewati pajangan-pajangan pintuh dari sekian deretan ruang. Hingga tibalah aku pada sebuah pajangan  pintuh yang berukuran lebih besar dari semua yang kulihat.
Langkah terhenti dalam gugupan yang bergetar namun kuatkan hati tuk tetap masuk. Ketukan kedua memberi jawaban yang tegas untukku.
“Ya… masuk!” suara dari balik pintuh.
“Selamat Pagi..”
“Ya.. selamat pagi Kelvin. Mari silakan duduk”
“Terima Kasih banyak”
“Ada apa ? ko pagi-pagi sekali datang menemuiku, ada yang ingin kamu bicarakan?”
“Ia Bapa.. ada yang ingin aku bicarakan dan ini sangat penting”
“Ok silakan.”
“Bapa tak banyak yang akan ku bicarakan dan yang kuinginkan saat ini. Ada satu hal saja  yang ingin ku minta. Sekiranya Bapa bersedia membaca ini”
Sebuah map kusodorkan, dan tidak jauh berbeda dengan sahabat-sahabat , wajah penuh tanyapun tergambar di wajah Bapaku.
Hampir 20 menit lamanya aku menuggu , hingga akhirnya keheningan ruang sepi itupun terpecah oleh suara.
“Kenapa kamu memilih untuk ini Vin ? jujur Bapa sangat kecewa. Kamu tahu kamu yang terbaik tapi entah kenapa dan  karena apa kamu memilih untuk ini. Tapi sungguh akupun tak bisa memaksakan kehendakmu, jika suatu saat kamu ingin kembali pintuhku selalu terbuka untukmu.”
“Terima Kasih Bapa. Terima kasih”
Sebuah tanda tangan , seolah mengakhiri semua itu. Akupun lega dan segera berpamitan dengan Bapaku yang kini merunduk terlihat muram membisu.
“Tunggu..
“Ada apa Bapa.?’
“Engkau tahu, aku tak ingin menahanmu atau memaksamu untuk tetap disini, karena ada satu hal yang tidak kuinginkan hadir di antara kita berdua yakni Kekecewaan. Kejarlah mimpimu yang tak mungkin siapapun megubahnya”
Tak kujawab namun kutersenyum dan kembali memeluknya penuh haru.
                                 Hatiku terasa lega , tak lagi kurasakan sebuah ikatan pasti. Aku berlari penuh riang tanpa kupikirkan lagi perasaan yang akan tertinggal selama bertahun-tahun. Ku kembali kepada kamar kenangan, menyiapkan semua yang harus kubawa pulang. Pesan singkat segera kukirimkan pada pujangga hatiku, dan  melepas handphoneku di atas ranjang lalu berlalu pergi.
Pada persimpangan setapak berjubin kujumpai beberapa sahabat, dan di ujung jalan ku temukan ketiga sahabat yang kucari. Tanpa ragu-ragu kusampaikan sebuah berita yang ceritanyakan berakhir seperti apa lagi.
“ Kawan.. sebelumnya aku minta maaf, mungkin ini terdengar bodoh dan kurang meyenangkan. Tapi sungguh ini tlah kurenungkan sekian lama. Kali ini aku memilih hatiku yang bicara. Aku akan segera pulang, pagi ini Bapa telah menanda tangani surat pengunduran diriku, aku tak bisa berlama-lama menahan diriku tuk tetap tinggal di penjara suci ini. Aku mohon maafkan aku”
Begitu panjangnya kubicara satupun tak kudapatkan jawaban. Dua sahabat berlalu merunduk dari tatapan singkat ini, namun ada satu yang tinggal. Itu sahabat sejatiku.
“Jika engkau tahu akan hatiku, akupun akan melakukan hal sama seperti mereka, namun aku bukan hatimu. Sungguh akupun kecewa sama sperti mereka karena dirimu yang tidak menepati janji kita diawal perjumpaan. Tapi terkadang janji tak selamanya ditepati dan setiap pemikiranpun pasti punya  pilihan. Apapun itu Vin, aku mendukungmu. Kau tahu yang terbaik untuk dirimu dan juga mimpimu di masa depan”
Kata-kata itu menusuk langsung ke detakan jantungku, memberontak tak beraturan mengikuti serambi. Entah bagaimana lagi kujawab dan kujelaskan. Jhovanpun sama , berlalu tanpa kembali menoleh. Dan tanpa kusadari berita itupun tersebar kesemua penjuru Biara suci. Panggilan untukku datang dan meminta agar sedikit perpisahan  harus kuhadiri.  Inilah akhir semua itu , jika ada perjumpaan ada pula perpisahan. Konsisten dengan pilihanku membuatku tak begitu peduli lagi dengan semua kecewa ataupun kesedihan.
Perpisahan itu tak berllangsung  lama diawali dengan pelepasan jubah putih ini hingga semua usai. Begitu banyak ucapan dan kisah yang kutinggalkan, melawan kesedihan dari semua gambaran wajah yang kecewa. Ada beberapa hal yang akan berubah menggantikan posisiku. Namun semua kutahu pasti akan indah pada waktunya.  Dan perpisahan bukan akhir dari segalanya.
                Inilah akhir dari perjalananku di ladang Tuhan. Beberapa koper ku tempakan ke dalam sebuah  mobil yang akan mengantarku pulang. Sahabatku tak terlihat lagi, ada bisikan yang mengatakan bahwa mereka menghujaniku dengan air mata di balik  tirai berwarna. Ada sebuah coretan yang kutinggalkan di atas ranjangku , berisikan sedikit Terima Kasihku.
“ tahukah engkau sahabat, terkadang pilihan membuat kita tak punya alasan untuk pergi. Cintapun demikian. Aku tak perna ingin meninggalkanmu namun kuingin pergi dan biarkan aku pergi. Setiap kenangan dalam perjalanan ini janganlah engkau hapus. Kau sejati untukku meski nanti kita tak saling tatap dan bercanda lagi. Tapi ingatlah aku, aku mohon.  Dan Untuk Tuhanku kuucapkan terima kasih telah mengajarkan aku  akan semua makna ayat-ayat suci itu dan telah membuatku memakai rok. Itu semua indah dan takkan mudah untuk kulupakan, sesungguhnya ku hanya tak ingin mengingkari dan mengecewakan Tuhanku setelah ku bersumpah Pada-Nya. Tetaplah berjuang, doaku kan tetap mengiringi langkahmu”
Gerbang putih berbunga menjadi saksi perjumpaan pada perpisahaan akhir ini, aku hendak menaiki kendaraan abu-abu itu namun suara yang kunantikan memanggilkku. Itulah mereka sahabat-sahabat yang kutunggu. Pelukan berlumur tangisan tak membuatku lepas. Terlalu indah semua episode-episod yang telahku lakonkan. Tanpa acting yang palsu dan ragu. Dalam pelukan deringan handphoneku terdengar  dalam satu nada, terbaca dari luar itu  Bidadariku.
‘Kupikir hubungan kita usai sampai disini, kuputuskan untuk pergi. Bukan ini yang kuinginkan darimu, mengorbankan impianmu hanya untuk cintaku dan hati yang akan mati. Kumohon kembalilah dan jangan perna mencariku lagi’
Sebuah pesan yang sangat memukul  keras dan menusuk tajam memanah tepat sasar. Amarahku meluap ingin kuteriakan semua rasa, benci tak mampu mengubah semua air mata yang kubendungkan. Ada cinta dari dan untuk  hati seorang yang kusimpan di balik jubah putih ini. Dan akhirnya iapun tertinggal bersama jubah yang tlah kulepas. Kembalipun kutak ingin lagi, malu mungkin terungkap sudah namun kecewa berkibar bebas untuk seorang peri yang kucintai. Penyelasan ikut merdeka di hari yang hampir kelabu. Namun penyesalan selalu hadir di belakang, taapi tak mengubahku untuk tetap pulang membawa memori penuh.
Semua itu terdengar semakin bodoh, namun ku katakana inilah takdir hidupku. Menlepas semua mimpi dari semua mimpi. Di tempat suci itulah semua kisahku akan tergambar jelas. Dan kini , di tempatku mengembara aku kini berdasi menempati kursi empuk beroda , dan ku coretkan kembali tentang  cerita di balik Jubah Putih pada masa itu.

(Cerita di pelupuk  senja yang merah di awal bulan baru)
Oleh :” Margareta Febriana Rene”