Embun basah masih berbau dan
terlihat belum mongering pergi. Tak tau lagi, pagi seperti apa yang aku
inginkan. Coba melawan aliran dingin yang menhujani tubuh. Semua belum
berubah bahkan mungkin takkan berubah.
Menyembah dalam tekukan panjang tak pernah beralih ataupun berbelok
arah. Aturan tetaplah aturan, tak bisa kuubah layaknya catur dalam permainan.
Datanglah
suatu pagi yang baru, membawa perbedaan dalam tampilan nuansa biru yang
menyejukan, desiran-desiran putih terdengar berbisik meski mengusik. Lalu
mampirlah kebekuan tanpa tanya dan candapun mati. Jika Tuhan ingin, Ia akan
memanggilku pagi ini untuk medengarkan cerita hatinya, tapi tak semua harus
sejalan. Putaran baru siap menjelaja bundaran piring berkaca pada dataran
dinding, deringan seiring memberiku satu isyarat untuk segera mengenakan Rok
putih panjang dan menjinjing sekelompok
buku-buku berayat suci. Langkahpun tak tertatih
melainkan pasti tuk berjalan menelusuri lorong-lorong tua yang
berkeriput.
Tepat pada sebuah deretan bangku
aku terhenti, mantapkan hati untuk mulai bertekuk lutut menyerukan nama Tuhan.
Melodi merdu mengawali perjumpaanku kepada Tuhan, sebagai hadia terindah untuk
waktu yang baru dan hembusan yang masih menginap, kurangkaikan sebuah puisi dalam
syair-syair pendek. Banyak hal yang kukatakan
tapi tidak untuk jantungku yang berdetak karenanya. Entah mengapa
kuingin hal itu hadir dengan gaya yang lebih klasik.
Hingga usai aku masih ingin
berdiam diri dibalik ruang suci tahun 60-an itu. Coba kuhadirkan satu kata yang
kusimpan setahun lamanya.
“CINTA” sebuah kata
yang lima tanpa kalimat.
“inilah kata yang ingin kukatakan pada-Mu Tuhan. Ini bukan
tentang cinta antara aku, Engkau dan mereka. Tapi, ini tentang cinta antara aku
dengan dirinya”
Kata-kata itu terucap perlahan pelan, mengupas hati dengan
hati-hati kelak tak menyobek lara yang mantap tuk katakan semua tentang isi batinku. Aku tahu ini tak
mungkin salah setelah refelksi lama yang kujalani. Semuanya tersembunyi ,cukuplah kalau akau dan Engkau yang tahu
tentang semua ini.
Sejenak sebuah kalimat ingin kuucapkan kembali , tiba-tiba
ada lain insane yang mengubah semua keheningan dan perbincanganku dengan Tuhan.
Sedikit tersentak kecewa namun tak harus kulakukan.
“Kelvin…” It’s my name.
“Kelvin.. waktunya sarapan, aku akan menunggumu di meja
makan”
Itu seruan sahabat namanya Jhovan yang sering kusapa sayang
dengan nama Jho, bukan sekedar sahabat tapi sahabat seperjuangan yang setianya
tak perna padam.
“ya.. aku akan
menyusul” jawabku tak banyak.
Lalu ku akhiri perjumpaanku dengan sebuah janji bahwa kuakan
kembali setelah sarapan pagiku selsai, serambiku katakan juga hari ini harus kudapatkan
jawaban pasti.
Kini kembali pada kursi tua yang tlah kutempati
4 tahun lamanya. Inginku disini sepanjang hari , memeluknya dan
bersamanya menyisakan waktu. Tapi masih ada yang lain tuk sebuah perpisahan
singkat. Tatapanku tak mati tuk pandangi wajah-wajah yang melekat hidup dalam
hatiku.
“Vin..” Panggilan
kesayanganku yang sedikit lebai, tapi itulah gambaran kasih sayang
sahabat-sahabatku.
“Vin.. Ko pagi-pagi melamun, ada apa ?”
“Woi.. Vin masih pagi kawan , ko melamun?” ada sapa lain
dari sahabat semeja, namanya Devan.
“Vin……, hey..” kali
ini dari seorang lainnya juga, Vino yang biasa di panggil No. sahabat semeja
yang menyapaku sambil menepuk bahu hingga kutersadar dalam kejutan.
“ Oh hai… Ada apa ?”
“Kamu kenapa Vin ? ini masih sangat pagi, tapi kamu sudah
membisu dalam lamunan” ujar Vino lagi dalam senyuman tipis.
“Ia Vin.. Sebenarnya apa yang kamu pikirkan ? Ayolah
ceritakan saja kawan” sambung Devan.
Ada seseorang yang balik menatapku penuh tanya, Itu dia
sahabat penaku Jhovan. Tergambar jelas dibola matanya , bahwa ia hampir
mengetahui sesuatu tentang apa yang kusembunyikan. Wajar akan hal itu, semua
tentang aku ia tahu pasti seperti apa. Namun aku tak lemah tuk mencoba
sembunyikan semua itu. Pembicaraanpun kualihkan jauh dibalik suasana putih yang
hampir memerah.
“ Ah.. Tidak kawan. Aku sama skali tidak melamunkan apapun,
ku hanya memikirkan tugas yang akan
kita jalankan hari ini. Aku sedikit
lelah jadi aku pikir lelahku pasti akan bertambah”
Tak ada tanggapan , wajah-wajah yang kebingunganpun mulai
terlukis lembut, namun ada satu yang tak ragu .
“Sudahlah Vin, aku tahu bukan itu yang kamu pikirkan
sesungguhnya. Pasti ada hal yang sangat penting. Ayolah ceritakan saja.. kita
kan sahabat-sahabatmu. Siapa tahu kita bisa membantumu” ujar Devan dengan pasti
dalam nada yang tak lepas.
Aku terdiam tanpa membungkam rasa . kucoba pertahankan kata
yang ingin terucap dalam kepalan yang erat. Namun semua masih berpihak kepadaku
,jam makanpun usai dan ku segera
bergegas pergi menjauhi sahabat-sahabatku. Tak peduli seperti apa responnya dan tak peduli apa tanggapan
mereka.
“ Ok. Aku pamit duluan ya.. lain waktu baru dilanjutkan
obrolannya”
“Tapi Vin.. “
Ujaran singkat tak lagi ingin kudengarkan . kuberlari sejauh
mungkin dari perbincangan hangat itu. Mencari penyejuk tuk redamkan semua rasa
yang ingin ku tangisi segera. Kembali ke kamar tidaurku adalah hal terbaik,
bukan untuk terlelap tapi untuk merenungi semua yang akan terjadi hari ini.
Lalu menghampiri sebuah buvet tua punyaku, di dalam laci
kecilnya ku simpan beberapa lembaran putih
panjang yang tersusun rapi dalam sebuah map biru. Sebelum ku keluar dari
ruangan itu, ku luangkan waktuku sedikit untuk mengintip handphoneku, dan
ternyata ada sebuah pesan singkat. Penuh penasaran kubuka pesan itu.sebuah
tulisan yang menguatkan tekadku.
‘Selamat Pagi.. Aku mencintaimu’
Tidak banyak kata itu, namun yang kuraskan adalah mekarnya
hati yang tak bisa terungkap oleh kata yang sama. Rok putih masih kukenakan dan
masih terus ingin kukenakan sepanjang hari ini. Lalu kumulai melangkah dengan
sedikit senyum pasti, melewati pajangan-pajangan pintuh dari sekian deretan
ruang. Hingga tibalah aku pada sebuah pajangan
pintuh yang berukuran lebih besar dari semua yang kulihat.
Langkah terhenti dalam gugupan yang bergetar namun kuatkan
hati tuk tetap masuk. Ketukan kedua memberi jawaban yang tegas untukku.
“Ya… masuk!” suara dari balik pintuh.
“Selamat Pagi..”
“Ya.. selamat pagi Kelvin. Mari silakan duduk”
“Terima Kasih banyak”
“Ada apa ? ko pagi-pagi sekali datang menemuiku, ada yang
ingin kamu bicarakan?”
“Ia Bapa.. ada yang ingin aku bicarakan dan ini sangat
penting”
“Ok silakan.”
“Bapa tak banyak yang akan ku bicarakan dan yang kuinginkan
saat ini. Ada satu hal saja yang ingin
ku minta. Sekiranya Bapa bersedia membaca ini”
Sebuah map kusodorkan, dan tidak jauh berbeda dengan
sahabat-sahabat , wajah penuh tanyapun tergambar di wajah Bapaku.
Hampir 20 menit lamanya aku menuggu , hingga akhirnya
keheningan ruang sepi itupun terpecah oleh suara.
“Kenapa kamu memilih untuk ini Vin ? jujur Bapa sangat
kecewa. Kamu tahu kamu yang terbaik tapi entah kenapa dan karena apa kamu memilih untuk ini. Tapi
sungguh akupun tak bisa memaksakan kehendakmu, jika suatu saat kamu ingin
kembali pintuhku selalu terbuka untukmu.”
“Terima Kasih Bapa. Terima kasih”
Sebuah tanda tangan , seolah mengakhiri semua itu. Akupun
lega dan segera berpamitan dengan Bapaku yang kini merunduk terlihat muram
membisu.
“Tunggu..
“Ada apa Bapa.?’
“Engkau tahu, aku tak ingin menahanmu atau memaksamu untuk
tetap disini, karena ada satu hal yang tidak kuinginkan hadir di antara kita
berdua yakni Kekecewaan. Kejarlah mimpimu yang tak mungkin siapapun megubahnya”
Tak kujawab namun kutersenyum dan kembali memeluknya penuh
haru.
Hatiku terasa lega , tak lagi kurasakan sebuah
ikatan pasti. Aku berlari penuh riang tanpa kupikirkan lagi perasaan yang akan
tertinggal selama bertahun-tahun. Ku kembali kepada kamar kenangan, menyiapkan
semua yang harus kubawa pulang. Pesan singkat segera kukirimkan pada pujangga
hatiku, dan melepas handphoneku di atas
ranjang lalu berlalu pergi.
Pada persimpangan setapak berjubin kujumpai beberapa
sahabat, dan di ujung jalan ku temukan ketiga sahabat yang kucari. Tanpa
ragu-ragu kusampaikan sebuah berita yang ceritanyakan berakhir seperti apa
lagi.
“ Kawan.. sebelumnya aku minta maaf, mungkin ini terdengar
bodoh dan kurang meyenangkan. Tapi sungguh ini tlah kurenungkan sekian lama.
Kali ini aku memilih hatiku yang bicara. Aku akan segera pulang, pagi ini Bapa
telah menanda tangani surat pengunduran diriku, aku tak bisa berlama-lama
menahan diriku tuk tetap tinggal di penjara suci ini. Aku mohon maafkan aku”
Begitu panjangnya kubicara satupun tak kudapatkan jawaban.
Dua sahabat berlalu merunduk dari tatapan singkat ini, namun ada satu yang
tinggal. Itu sahabat sejatiku.
“Jika engkau tahu akan hatiku, akupun akan melakukan hal
sama seperti mereka, namun aku bukan hatimu. Sungguh akupun kecewa sama sperti
mereka karena dirimu yang tidak menepati janji kita diawal perjumpaan. Tapi
terkadang janji tak selamanya ditepati dan setiap pemikiranpun pasti punya pilihan. Apapun itu Vin, aku mendukungmu. Kau
tahu yang terbaik untuk dirimu dan juga mimpimu di masa depan”
Kata-kata itu menusuk langsung ke detakan jantungku,
memberontak tak beraturan mengikuti serambi. Entah bagaimana lagi kujawab dan
kujelaskan. Jhovanpun sama , berlalu tanpa kembali menoleh. Dan tanpa kusadari
berita itupun tersebar kesemua penjuru Biara suci. Panggilan untukku datang dan
meminta agar sedikit perpisahan harus
kuhadiri. Inilah akhir semua itu , jika
ada perjumpaan ada pula perpisahan. Konsisten dengan pilihanku membuatku tak
begitu peduli lagi dengan semua kecewa ataupun kesedihan.
Perpisahan itu tak berllangsung lama diawali dengan pelepasan jubah putih ini
hingga semua usai. Begitu banyak ucapan dan kisah yang kutinggalkan, melawan
kesedihan dari semua gambaran wajah yang kecewa. Ada beberapa hal yang akan
berubah menggantikan posisiku. Namun semua kutahu pasti akan indah pada waktunya. Dan perpisahan bukan akhir dari segalanya.
Inilah
akhir dari perjalananku di ladang Tuhan. Beberapa koper ku tempakan ke dalam
sebuah mobil yang akan mengantarku
pulang. Sahabatku tak terlihat lagi, ada bisikan yang mengatakan bahwa mereka
menghujaniku dengan air mata di balik tirai berwarna. Ada sebuah coretan yang
kutinggalkan di atas ranjangku , berisikan sedikit Terima Kasihku.
“ tahukah engkau sahabat, terkadang pilihan membuat kita tak
punya alasan untuk pergi. Cintapun demikian. Aku tak perna ingin meninggalkanmu
namun kuingin pergi dan biarkan aku pergi. Setiap kenangan dalam perjalanan ini
janganlah engkau hapus. Kau sejati untukku meski nanti kita tak saling tatap
dan bercanda lagi. Tapi ingatlah aku, aku mohon. Dan Untuk Tuhanku kuucapkan terima kasih
telah mengajarkan aku akan semua makna
ayat-ayat suci itu dan telah membuatku memakai rok. Itu semua indah dan takkan
mudah untuk kulupakan, sesungguhnya ku hanya tak ingin mengingkari dan
mengecewakan Tuhanku setelah ku bersumpah Pada-Nya. Tetaplah berjuang, doaku
kan tetap mengiringi langkahmu”
Gerbang putih berbunga menjadi saksi perjumpaan pada
perpisahaan akhir ini, aku hendak menaiki kendaraan abu-abu itu namun suara
yang kunantikan memanggilkku. Itulah mereka sahabat-sahabat yang kutunggu.
Pelukan berlumur tangisan tak membuatku lepas. Terlalu indah semua
episode-episod yang telahku lakonkan. Tanpa acting yang palsu dan ragu. Dalam
pelukan deringan handphoneku terdengar
dalam satu nada, terbaca dari luar itu Bidadariku.
‘Kupikir hubungan kita usai sampai disini, kuputuskan untuk
pergi. Bukan ini yang kuinginkan darimu, mengorbankan impianmu hanya untuk
cintaku dan hati yang akan mati. Kumohon kembalilah dan jangan perna mencariku
lagi’
Sebuah pesan yang sangat memukul keras dan menusuk tajam memanah tepat sasar.
Amarahku meluap ingin kuteriakan semua rasa, benci tak mampu mengubah semua air
mata yang kubendungkan. Ada cinta dari dan untuk hati seorang yang kusimpan di balik jubah
putih ini. Dan akhirnya iapun tertinggal bersama jubah yang tlah kulepas.
Kembalipun kutak ingin lagi, malu mungkin terungkap sudah namun kecewa berkibar
bebas untuk seorang peri yang kucintai. Penyelasan ikut merdeka di hari yang
hampir kelabu. Namun penyesalan selalu hadir di belakang, taapi tak mengubahku
untuk tetap pulang membawa memori penuh.
Semua itu terdengar semakin bodoh, namun ku katakana inilah
takdir hidupku. Menlepas semua mimpi dari semua mimpi. Di tempat suci itulah
semua kisahku akan tergambar jelas. Dan kini , di tempatku mengembara aku kini
berdasi menempati kursi empuk beroda , dan ku coretkan kembali tentang cerita di balik Jubah Putih pada masa itu.
(Cerita di pelupuk
senja yang merah di awal bulan baru)
Oleh :” Margareta Febriana Rene”