klasik

Senin, 21 Oktober 2013

Sebuah Ruang


Bayang terlintas pada papan tak berwarna 
Mengisi kekosongan pada ruang yang hampa
Berjalan di depan panggung kecil benyubin
Tanpa layar tanpa latar
Langkah itu melemah sekejap derapan
Ada yang berpindah tempat
Oh aku salah bukan perpindahan dirinya
Sekedar menarik sebuah kursi berisik
Di samping kiri ada beberapa suara
Obrolan yang pasti menukar semua pendapat
Di sudut lain ada yang tertawa menggempar
Tanpa ragu ataupun malu keluarkan bisingan
Beberapa uang yang kusam terlihat begitu penuh
Tetapi tidak merapikanya, menghitungpun sudah
Sebuah laporan ditanya sang kawan
Kotak-kotak kuning bercampur coklat
Kusuka dikenakanya, terlihat manis  menawan
Canda lain dari coretan dinding
Semua kata masih teringat sama 
Ada yang dimengerti ada pun yang tidak mengerti
Suasana menunggu, dalam sebuah  ruangan kelas 
Bukanlah masih baru, tapi lama sejak dahulu.


Kenapa Ayah



Begitu mudah ia tahu
Ketika kening berkerut gambaran pikirku
Aku tersenyum diluar batinku
Namun ada lain kata dalam hatiku
Aku takut ayah 
Khayal ini ku bawa jauh ke nuansa biru
Cerita tentang hari yang penuh canda
Namun ia tetap akan tahu
Lamunan patungan mampu ia pecahkan 
Mengapa ayah? aku tiadak tahu
Masih tak tahu, bahkan sama sekali 
Ayah, bukalah episode kita kemarin 
Memoriku belum penuh akan di kau 
Gambaran wajahmu ada padanya
Kenapa ayah?
Kenapa harus dirinya, dirinya belum tahu 
Fokusku hilang terbawa debu yang menyapu 
Di balik dataran putih ada hempasan yang lekat
Kenapa lagi ayah?
Jauh, begitu jauh aku mau katakan salah
Aku lamunkan rautan bening
Rindu putrimu ini milikmu ayah, selamanya.

Isyarat di Balik Gerimis


Rintinkan mungkinkah rintikan 
Adakah engkau tahu arti dari butiran bening 
Ada apa di dalam sana 
Ada artikah? Ada kesejukan kah?
Atau ada kekejaman?
Jika masih sekadar titik-titik kecil 
Ingatkan aku dan kamu pada sesuatu 
Bukan hanya satu atau dua
Seperti salah satu ciri sebuah ukuran
Pertama sekadar gerimis-gerimis rindu
Membasahi alam mandikan semua kelana 
Tersentak jangan biarkan siapapun diam 
Tanyakan apapun yang tersimpan melembah 
Adakah jawaban gentar gentarkan hati
Jika jiwa mulai risau jangan isak yang kau uraikan 
Jika imanmu tak kuasa melindungi
Janganlah putus asa yang jadi pemimpin
Jangan sampai terlena dalam kelemahan
Arus besar kan menguasi tubuh

Isyaratpun  datang memberi satu dua maksud 
Namun masih ada yang tak mengerti
Mintahlah memohon untuk tak lama
Cukuplah sekedar basahi tanah yang kering
Jangan sampai menjadikan 
bumi kolam air langit dan membanjir.

Dari Pintu ke Pintu



Dari pintu ke pintu ...
Ku tenteng map biru berisi kertas-kertas putih
Pakaianku rapi berdasi  lengkap terlihat elegan
Ada mimpi yang kucari dan kukejar

Logikaku tak cukup jua untuk sebuah gelar
Itulah kujajah ijazah tak seberapa ini
Lampiran hasil pertempuranku  
di masa kecil hingga remaja
Berharap  pada kursi berdamping 
layar berpuluh menu ku jadi dewasa
Kucangkul asa  dari balik khayalku yang suram
Kelak benderang memancar sinar terang
Adalah kisah sang penjelaja nafkah
Memotret dirinya tuk cari tempat pajang yang tepat
Berharap satu dua mata kan tertarik
Dilengkapi pula lampiran riwayat tuk meyakinkan
Menyimpan kepercayaan akan sang pemilik gambar
Titik-titik masih kosong belum tertanda  tangan
Menanti tintah pekat kan terlukis tak terhapus
Memberi jawaban atas semua pertanyaan-pertanyaan
Meskipun masih dari pintu ke pintu
Keluar dan masuk  tanpa memberi rasa sekalipun

Ujaran tancap kejam tak alihkan tekad
Dihormati tak perlulah, dihargai sudah berarti
Bukan untuk jadi yang teratas atau  ternama
Sekedar wujudkan impian-impian kemarin
Jika kita sama, terimalah seberkas mimpi nyata ini.